Payungi Jokowi, Kawan

Siyasah adalah dewanya tipu-tipu.

Siyasah beroperasi dengan eksploitasi kerentanan emosi dan kognisi seseorang.

Manusia umumnya punya sisi lemah bahkan kelam. Kebanyakan orang demikian, tinggal bagaimana menyikapinya. Siyasah beroperasi dengan membangun koneksi dengannya, entah secara vulgar, brutal atau simpatik.

Secara vulgar, siyasah dijalankan dengan norak, seperti orang yang pakaiannya berlebihan (overdress). Pestanya bakar-bakar ikan di pantai, pakainya long dress. Keberatan di gaun. 

Absurd.

Gelombang aksi damai aka aksi seribu lilin buat Ahok diserbu foto-foto sampah dan lelehan lilin yang memang jorok dan tidak patut. Sepintas bagus, tetapi tidak konek. Sesungguhnya lebih upaya memancing dan mereduksi substansi aksi sebagai melawan radikalisme.

Norak dan absurd sekali.

Secara brutal, siyasah menyerang bertubi-tubi demi kerusakan maksimal. Hal ini ibarat menabrak sepeda dengan truk tronton dalam rangka memastikan orangnya mati.

Kepada saya berkali-kali dilancarkan model serangan bengis seperti ini. Yang terakhir adalah artikel di blog saya berjudul Djarot Teman Ahok. Persahabatan Ahok-Djarot mematahkan klaim bahwa orang Kristen orang Islam tidak mungkin dijalin dan menjalin koeksistensi.

Dari 4 ribu lebih pembaca artikel di atas, tersebutlah seorang perempuan dengan nama indah, Bilqis, yang memberi komen berupa lilin dari onggokan tai manusia, sebagai 'hadiah buat Ahoker'.

Dengan sekali pukul, (sang ratu) Bilqis hendak mendiskreditkan sebuah pertemanan terindah, terdalam, terkuat, yang pernah dibangunkan Republik, Djarot Teman Ahok, seperti antara Romo Mangun dan Gus Dur dahulu. Pertemanan seperti ini sangat menakutkan bagi pengusung utopia khilafah. Sebelum sempat dijadikan role model persahabatan, hancurkan seketika! (baca juga: Agama Setan)

Secara simpatik, siyasah suka bermain peran, entah mencari simpati (sebagai korban terzolimi) atau mengais simpati (sebagai penganjur).

Gelombang aksi seribu lilin membuat segelintir brangasan religius yang saban hari 'mengaum ganas mendadak mengeong syahdu'. Entah bagaimana ceritanya, mereka mengklaim cinta Pancasila dan NKRI harga mati (maksudnya, asal bersyariah). Substansi aksi damai sebagai perlawanan rakyat semesta melawan radikalisme dipretelin urgensinya.

Mereka menggiring opini sebagai korban yang perlu dibelai. Fakir simpatik!

Siyasah bekerja beragam dan berlapis. Sekali lagi, siyasah merupakan eksploitasi kerentanan emosi dan kognisi -kelemahan manusiawi- seseorang. Ketika seseorang itu adalah publik atau kekuatan kolektif, siyasah mengais koneksi dengan kerentanan emosi dan kognisi massa.

Seperti pagi ini, tanpa sengaja, kerabat saya mendengar tehnik siyasah dalam menciptakan distorsi, diskredit dan permusuhan. Seseorang dengan semangat bercerita bagaimana semalam, sehabis aksi damai di Tugu Pahlawan, Surabaya, ia ke sana dan mencari sisa-sisa lelehan lilin yang pasti ada karena tak terhindarkan. Dia kemudian berperan sebagai pembersih, beraksi dalam foto-foto, akan di-upload dan diberi caption model Buni Yani.

Seberapa benar kata-kata dia, saya tidak tahu. Yang jelas ia bicara terang-terangan di depan beberapa orang.

Siyasah merepresentasikan gerilya ke dalam labirin pikiran dan emosi dan kerohanian manusia. Diringkas dalam satu kata: KEBOHONGAN.

Dalam film Fabricated City asal Korea super keren, anda bisa nonton film online, diceritakan bagaimana hukum difabrikasi (direkayasa) secara masif-sistematif dan melibatkan pemodal (penanggung biaya rekayasa), ahli komputer, politisi, orang hukum, polisi dan wartawan.

Kasus-kasus besar diciptakan, tempat kejadian perkara (TKP) dikreasikan, pelaku diskenariokan, bukti-bukti ditanam di TKP dan narasi dipersiapkan untuk dipublikasikan. Sang sutradara melakukan penggiringan opini. Diatur sedemikian sehingga publik mau tidak mau menerima 'fakta' adanya kejahatan luar biasa, bahkan merasa rasa keadilan telah dipulihkan ketika sang 'pelaku' berhasil dijebloskan ke dalam penjara.
kata kata bijak, kata kata mutiara, kata kata cinta, kisah nyata
Iriana payungi Jokowi di atas motor trail
Kawan dibuat lawan, teman dibuat musuh. Bengis tak terkira!

Fabricated City sebenarnya merefleksikan kisah nyata. Nonton film online Korea lainnya berjudul Next Case yang mengisahkan seorang pembela hukum yang membongkar kelicikan polisi dan sejumlah orang hukum dan wartawan yang berkomplot merekayasa kasus-kasus dengan mengorbankan orang-orang tak bersalah. Motifnya apa lagi kalau bukan fulus.

Siyasah adalah fabrikasi, pabrik kebohongan demi kebohongan. Ia tidak bakal menanggapi substansi, tak peduli seberapa pentind dan relevan hal tersebut. Tujuannya menciptakan gesekan, melancarkan labelisasi serta fitnah secara masif. Kata-kata yang dipakai biasanya sangat jahat dan menciderai tenunan sosial kita. (baca juga: Kotak Pandora, Sastra dan Politik Harapan)

Kebohongan paling menjijikkan namun pontensial sebagai eksploitasi kerentanan publik saat ini adalah fabrikasi opini (menjadi fakta) bahwa Jokowi tidak melindungi Ahok dan karenanya, Jokowi merepresentasikan rezim zalim - yang harus dilawan. Di sisi lain, orang-orang yang sama justru menuntut dengan ancaman dan intimidasi agar Jokowi tidak mengintervensi kasus Ahok.

Siyasah pukul sana, pukul sini. Siyasah menarik keuntungan dari situasi apapun. Siyasah adalah dewanya tipu-tipu.

Jokowi bukan orang Indonesia kebanyakan yang bisa bebas berekspresi. Beliau adalah Presiden Indonesia. Sesedih-sedihnya atas nasib seorang kawan, semarah-marahnya atas matinya keadilan di negara kita, beliau tidak bebas mengatakannya. Kata-kata beliau berdampak luas dan diincar musuh-musuhnya.

Cukuplah kita ingat bahwa saat putusan hakim atas kasus Ahok dijatuhkan, beliau sedang menjalankan sholat. Ini sebuah pesan sangat kuat bahwa di saat yang bersamaan, Presiden Indonesia sedang berserah kepada Allah – di Papua, negeri yang dikunjunginya beberapa kali demi pemerataan pembangunan.

Orang Papua sangat marfum saat Jokowi sendirian mengendarai motor trail. Bukan untuk gagah-gagahan. Medan di sana memang berat dalam keindahan menawannya. Banyak orang Papua, dokter, perawat, tentara, polisi, guru dan PNS yang harus memakai motor trail dalam aktivitas sehari-hari termasuk mengayuh perahu, terlebih bagi mereka yang berkarya di daerah-daerah pedalaman.

Akun facebook Presiden Jokowi yang terhitung sangat aktif malah tidak menayangkan foto di atas motor trail dengan Iriana berdiri payungi. Ada apa? Jelas ada pesan halus karena bagaimana mungkin seorang teman bergembira kala sahabat dekatnya sedang mengalami penderitaan dan ketidakadilan? Sikap ini merefleksikan komunikasi yang sangat beretika dan simpatik.

Rakyat Indonesia seyogyanya menyadari hal ini. Sungguh sulit menjadi seorang Presiden Indonesia di saat-saat genting dan sensitif belakangan ini. Apalagi yang mengaku Ahoker, jangan sampai masuk rekayasa carut-marut siyasah yang sedang dilancarkan dengan bengis. Hendaknya anak-anak bangsa menjaga kata-kata dan terlebih kewarasan pikirannya. 

Perlawanan semesta terhadap radikalisme adalah fokus bersama sebab nasib bangsa dalam pertaruhan.

Saya percaya bahwa Jokowi ikut berduka atas matinya keadilan di Indonesia. Presiden bersujud di mushola, berwudhu, sholat. Beliau pasti mendoakan sang kawan dan memikirkan dengan sangat serius bangsa dan negara ini. Hendaknya kita juga digerakkan oleh cinta dan harapan serupa, bukan kepura-puraan.

Tentu saja kita wajar kecewa, bahkan boleh marah, dengan putusan hakim atas kasus Ahok. Kecewa bahkan boleh marah dengan Jokowi, dan memelihara harapan, tetapi tidak elok mengkambinghitamkan beliau. Cerita saya tentang siyasah di atas, meski hanya sekelumit, jelas mengatakan betapa susahnya menjadi seorang Presiden Indonesia.

Kalau kita masih merasa ragu, tengoklah foto Iriana payungi Jokowi dengan seksama. Ada banyak kisah nyata mencuat dari dalamnya. Bukan sekadar orang Kristen orang Islam tetapi anak-anak bangsa. Kisah kita bersama.

Maka seperti Iriana, Kawan, PAYUNGI JOKOWI. Never let him walk alone, NEVER.
Jual Tenun & Batik Rose'S Papua

Pemesanan:

082-135-424-879/LINE/SMS
5983-F7-D3/BB
Inbox Rudy Ronald Sianturi

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Payungi Jokowi, Kawan"

Post a Comment