Harga Pendidikan dan Kisah Perjuangan Seorang Wanita Muda



Bagaimana kisah perjuangan orang tua saya mengajarkan akan arti pendidikan

Secara psikoanalisis, sebuah tindakan biasanya memiliki basis pengalaman (sejarah) di masa lalu yang secara emosional intens (bermakna bagi yang melakukan tindakan tersebut). Entah itu pengalaman positif maupun negatif, bagaimana seorang individu menjalani kehidupannya sekarang tidak lepas dari rangkaian peristiwa penting di masa lalu. Rangkaian pengalaman pribadi ini biasanya bertindak sebagai tolak ukur atau sistem nilai, sebuah pendidikan, yang secara internal menggerakkan atau menghentikan dia dalam situasi-situasi tertentu.

(Baca juga: Gelisah dan Insomia)


Suatu perayaan hari besar atau libur nasional merepresentasikan ikatan emosional dengan basis masa lalu pada tataran kolektif. Mumpung hawa Kartini masih segar di udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, kita cerita-cerita tentang pengalaman pribadi wanita saja. Maaf untuk para lelaki, bukan hendak diskriminasi. Dan karena saya punya empat perempuan dalam keluargaku, lebih baik saya pilih orang tua saya, yaitu mamaku, biar adil dan tidak diomelin saudari-saudari.


Kemarin tanggal 21 April, 2016, Facebook Memory mengingatkan apa yang saya pikirkan tepat enam tahun silam (21 April 2010). Jujur, bila saja bukan algoritma Facebook, saya tidak bakalan ingat lagi. Siapa juga yang bisa ingat sedetil ini kecuali internet, bukan begitu?


Masih kata Facebook, enam tahun lalu saya memikirkan ulang tentang pengalaman perempuan super istimewa dalam hidupku: mamaku. Waktu itu, saya merenungkan kembali perbincangan dengan beliau, berbagi dan tukar cerita, bertahun-tahun sebelumnya, ketika saya kuliah. Saya memang getol menggali berbagai peristiwa dan gagasan hidup orang tua saya, baik dari bapa maupun mama.


Pendidikan diri atau mencari akar relasi dengan orang tua, itulah yang memotivasi saya. Saya hendak mengenal berbagai peristiwa intens dalam sejarah hidup mereka, khususnya hal-hal yang telah memengaruhi pola nalar, pikir dan emosional mereka dan bagaimana semua itu telah mewarnai cara mengasuh dan mendidik kami sekeluarga.


Saya tidak mau menjadi diriku tanpa mengenal secara sadar dan belajar dari kehidupan dua orang yang telah menjadi sebab utama saya dihadirkan Allah sang Cinta ke dunia. Alasan lebih jauh lagi adalah karena saya ingin para keponakan saya untuk mengenal sebagian dari diri orang tua mereka melalui perspektif dan pengalaman hidup kedua oppung (kakek-nenek) mereka. Jadi penggalian ini lebih dari sekadar mencari kata-kata bijak atau kata-kata mutiara.


Selama ini, saya sebenarnya menyimpan satu pertanyaan: mengapa kedua orang tua saya sangat menekankan belajar dan menambah pengetahuan serta ketrampilan? Apakah semata spirit sebagai orang Batak yang dikatakan sangat menghargai ilmu, ataukah ada alasan-alasan yang lebih personal?


Begitulah awalnya bagaimana saya dan mama terlibat dalam perbincangan sepanjang malam. Yang tidak saya duga adalah terungkapnya sebuah kisah nyata yang mendebarkan dan menginspirasi dengan bumbu masa penjajahan.


Jepang baru saja mengaku kalah kepada Sekutu paska dijatuhkannya bom atom ke atas kota Hiroshima dan Nagasaki. Tidak lama kemudian, kemerdekaan negara Indonesia, sang Republik muda, langsung disiarkan hingga ke ujung-ujung dunia.


Mama sempat mengalami sekolah di jaman Kempetai, Jepang, dengan senam taiso pagi hari serta banyak latihan baris-berbaris ala militer. Beliau bahkan masih hapal Kimigayo, lagu kebangsaan Jepang, hitungan senam dan beberapa kata lainnya. Beliau juga berkisah betapa ngeri harus kucing-kucingan dengan tentara Jepang yang masuk ke desa-desa mencari stok pangan.


Menyusul kekalahan Jepang, Belanda mengambil-alih dan Jepang masuk ke barak-barak. Sekolah-sekolah dihidupkan kembali seperti sebelumnya. Terbuka kesempatan besar untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.


Pendidikan, sayangnya seakan sebuah kesempatan yang hanya tersedia bagi anak-anak di kota-kota yang sangat jauh dari kampung orang tua saya. Biaya sekolah juga tidak kecil apalagi buat keluarga petani biasa di kecamuk Perang Dunia II. Masih ditambah cemooh dari warga sekampung karena di jaman itu, sungguh tidak lumrah bagi wanita muda seperti mama saya ingin sekolah tinggi melebihi kebanyakan orang dan harus tinggal jauh dari rumah.


Mamaku adalah anak bungsu perempuan dari lima bersaudara dan ia tidak bisa dikekang zaman. Ia mau sekolah, ia berhasrat memanen ilmu, dan karena itu, ia pergi dari rumah. Bersyukur kedua orang tua terkasihnya memberi cinta terbaiknya dengan menyokong penuh pencapaian cita-citanya termasuk dengan mengirim beras, garam dan ikan asin kepadanya yang tinggal di asrama sekolah.


Malam itu, saya mendengar begitu banyak segi kehidupan mama dan keluarganya di masa lalu, serangkain ilmu dalam sejarah kehidupan personal, sesuatu yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya. Ia bercerita banyak sekali mengikuti irama dan rangkaian pertanyaan yang saya ajukan secara bertahap. Kami asyik bertukar kata hingga tengah malam.


Di pungkas pengisahan, saya tiba pada pertanyaan, kata-kata final menohok, yang kusimpan sebagai penutup.


Maka bertanyalah saya, “Mama...saya senang sekali mendengar kisah yang sangat padat intens dan mengandung pesan-pesan mulia dan kebijaksaan hidup tiada tara. Saya punya satu pertanyaan yang belum terjawab. Saya merasa penasaran, mengapa mama dan bapa kerap menekankan supaya kami belajar secara mendalam tiada menghentikan pencarian ilmu? Mengapa begitu menekankan studi dan bahkan mengatakan bahwa kematian hanya membawa satu yang pasti, yaitu ilmu terakumulasi?”


Hening seketika, sesuatu yang tidak saya antisipasi. Saya lihat mama bagai terdiam, sesuatu yang belum pernah kulihat selama ini. Biasanya beliau sangat antusias mendapat pertanyaan apa saja. Kali ini beda.


Mama menarik nafas panjang, matanya menerawang jauh ke belakang. Saya tahu kalau mata internal beliau sedang meninjau perpusataan pengalaman hidup yang paling berkesan dan bermakna bagi dirinya. Bahkan mungkin bisa dikatakan, basis pengalaman yang meringkas keseluruhan catatan nilai-nilai pribadinya. Di dalamnya bisa ditemukan alasan-alasan terdalam mengapa ia begitu memberi ilmu dan belajar cinta mendalam.


Beliau rupanya juga menyimpan sepenggal kata pungkas, bukan hanya saya! Maka mulailah mama menceritakan pengalaman saat dia bersama sejumlah teman melakukan perjalanan sepulang liburan dari kampung halaman, Tarutung, menuju asrama sekolah guru mereka (Sekolah Guru Atas atau SGA) di Siborong-Borong.


(Baca juga: Nona Pendeta Menjaga Keutuhan NKRI)

Bukan perjalanan mudah di jaman itu, harus melewati banyak daerah berhutan dan persawahan serta tempat-tempat sepi.


“Kami wanita belia, tiga hari jalan kaki dan menumpang truk kayu. Kalau mobil tertanam di lumpur, kami turut mendorong. Kala mogok, kami tidur di hutan bersama supir dan teman-temannya. Auman hariamu bukan hal aneh, tentu saja kami ketakutan. Beras, garam dan ikan asin, bekal kami. Lewatin kampung, kami tidur di rumah penduduk."


Saya kehilangan kata, terbayang sulitnya bersekolah bukan hanya jarak, biaya dan cemooh sekampung tetapi bahkan harimau dan transportasi. "Apa yang tetap mendorong mama dan teman-teman untuk tetap menjalani semua itu?"


"Itulah harga pendidikan!” jawab mama dengan mata berbinar-binar.

Seketika saya dengar otakku spontan menyusun puisi buat guru. Indah sekali apabila melihat nilai terdalam seorang pendidik dari perspektif perjuangan. Saya seolah mendengar suara cinta pada kehidupan, sang suara bijak yang berseru-seru deras.

(Baca juga: Bahasa Indonesia, Riwayatmu Kini)


Sejak saat itu, saya mengubah orientasi pertanyaan-pertanyaanku. Tidak lagi saya hendak mencari apa yang terjadi tetapi 'mengapa sekarang mama begini karena pengalaman apa yang begitu intens di masa lalu'.

Pendidikan, akhirnya saya mengenal kamu! Akhirnya saya mengenal harga pendidikan yang paling mendasar, yakni cinta dan harapan tulus pada kehidupan itu sendiri!


Happy Perempuan’s Day!

kata bijak motivasi singkat cinta kehidupan mutiara islami mario teguh sabar dalam kisah nyata



Pemesanan:

082-135-424-879/LINE
5983-F7-D3/BB
Inbox Rudy Ronald Sianturi 

Subscribe to receive free email updates:

2 Responses to "Harga Pendidikan dan Kisah Perjuangan Seorang Wanita Muda"

  1. Guru-guru pahlawan tanpa tanda jasa.

    ReplyDelete
  2. Terimakasih untuk komennya. Sepakat bahawa kita semua berutang banyak pada guru-guru dan hanya mungkin kita balas dengan mengamalkan setiap ilmu yang telah kita serap., kita balas dengan mengamalkan semangat pengajar-pendidik kita, yaitu menjadi pribadi mandiri dalam mencari ilmu :)

    ReplyDelete