Mutiara Sholat dan Ngaji
“Takut akan Allah adalah permulaan hikmat dan
pengetahuan”
Mutiara membuat indah penampilan. Kalau belum punya, minimal ambil kata kata mutiara yang bersemayam dalam ingatan dan bisa diakses kapan saja. Halnya diriku, dibesarkan di tanah Merauke, Papua, saya punya harta karun tersendiri: memori sholat.
Ini bukan sholatnya
orang-orang ‘sholeh visual’ seperti artis atau politisi di televisi. Ini kisah
orang-orang Islam biasa, tiga anak-anak Padang, yang menempati labirin khusus dalam samudra kesadaran saya.
Iwan kulitnya kepucatan.
Tubuhnya kurus langsing dan larinya gesit. Sebaliknya, Al bertubuh tambun. Pahanya
saja sebesar dua lenganku digabung jadi satu dan larinya mirip batere lemot. El
paling kecil, terlihat ringkih dengan rusuk-rusuk membayang dan larinya seperti
laba-laba meluncur di atas daun keladi berembun - setengah jinjit.
Inilah tiga bersaudara dengan urutan Iwan, Al dan El. Walau kontras bagai tiga DNA
dipaksa satu keluarga, kakak-beradik ini punya hobi sama yaitu suka telanjang
dada. Kala berdiri berderet, badan mereka dalam urutan: kurus langsing, gemuk
dasyat, laba-laba kurang gizi. Kalau diibaratkan dalam kata kata mutiara: lonjong, bulat,
trapezium.
Pikiran nakal ini kerap
muncul dalam benakku saat melihat tiga anak-anak asal Padang ini. Mereka teman
bermainku. Rumah kami hanya berjarak dua tetangga. Saban hari kami bercerita,
bermain tenis meja, badminton, lomba lari atau bakar benteng (salah satu dolanan
anak-anak). Tentu saja kami punya segudang permainan lainnya. Biasanya juga
tergantung musim seperti musim kelereng (gundu) atau kartapel.
Sekelumit cerita masa
kecilku di Merauke, Papua. Mereka hanya tiga dari puluhan anak-anak sebaya yang
menghabiskan masa kecil bersamaku. Asalnya dari berbagai penjuru Indonesia. Agama-agama
ada semua termasuk Islam, sehingga saya paham benar hidup sebagai anak
Nusantara.
Cukup sering saya nongkong
di rumah mereka hingga malam. Kami kerap makan malam bersama terutama dengan lauk rendang Padang enak buatan mamanya.
Ayahnya seorang Islam
sholeh yang tidak lalai dengan kewajiban agama untuk sholat. Biasanya mereka sholat
berjamaah. Turut serta adalah mama beserta dua saudarinya yang bening
nan imut (yang satu), satunya lagi kurang bening dan gemuk dasyat mirip Al.
Benar-benar beda DNA dipaksa satu keluarga!
Saya biasanya duduk
tenang di ruang tamu mengintip mereka dari celah-celah dinding pembatas. Mereka
sholat di ruang tengah. Saya suka dengan mukena para perempuan dan sarung
kota-kotak atau garis-garis para lelaki. Tampak elegan saat mereka menunduk
bersama, putih mukena kontras dengan hitam kopiah. Gerakan mereka serasi seakan
untain butiran mutiara dan mengandung energi yang amat menentramkan.
(Baca juga: Kata Mutiara Islam Edhi Pakistan)
(Baca juga: Kata Mutiara Islam Edhi Pakistan)
Ilustrasi sang pelantun ayat-ayat suci Al'quran |
Waktu-waktu tertentu,
Pak Ibrahim, sang ayah dengan kegagahan khas Padang, akan memesan padaku bahwa saya harus menunggu
lebih lama dari biasanya. Maksud beliau, mereka mau melanjutkan sholat dengan ngaji.
Ini bagian yang paling favorit buatku. Saya suka bila si Bening (yang kuceritakan
di atas tadi) mengalunkan merdu ayat-ayat suci Al’Quran.
Lantunan ayat-ayat Alquran dari mulutnya menghadirkan kebeningan sungai kecil mengalirkan air menikung di bebatuan kerikil. Beda dengan yang biasa kudengar dari mesjid, lebih gimana begitu. Suaranya meninggi tanpa cacat, menurun tanpa cela, dia melagukan ayat-ayat Allah dengan indah sekali.
(Baca juga: The Message of the Qu'ran: Summa Theologica dan Aristoteles)
Lantunan ayat-ayat Alquran dari mulutnya menghadirkan kebeningan sungai kecil mengalirkan air menikung di bebatuan kerikil. Beda dengan yang biasa kudengar dari mesjid, lebih gimana begitu. Suaranya meninggi tanpa cacat, menurun tanpa cela, dia melagukan ayat-ayat Allah dengan indah sekali.
(Baca juga: The Message of the Qu'ran: Summa Theologica dan Aristoteles)
Pengalaman dari Papua ini sangat
membekas, tidak bakal lekang oleh waktu. Ditoreh berkali-kali dan diperindah dalam
setiap permainan yang kami lakukan bersama-sama puluhan sahabat di Merauke, Papua. Jumat
datang, saya dan teman-teman Kristen menunggu-nunggu mereka balik dari mesjid. Minggu
tiba, giliran Iwan, El dan Al menunggu-nunggu kami pulang dari gereja. Kami
main tidak terbatas saat hari masih terang. Kami justru paling suka keluar
rumah saat bulan terang apalagi ‘bulan pakai payung’ (bulan purnama dengan
lingkaran halo).
Masih ingat saya lagu
anak-anak Papua ini (yang dari logatnya lebih terasa Ambon):
Bulan
pakai payung, teteruga batelor (penyu bertelur). Nona dari Ambon datang kawin
dengan se…Kawin baik-baik, jangan sampai bakalai (berkelahi). Kalau sampai
bakalai, nona pulang lebih baik. Sio, sio sayang e…
Di bawah sang cahaya rembulan
keperakan, bergandengan tangan bergerombol perempuan dan lelaki kecil Nusantara,
menengadah ke langit mengagumi roh surgawi malam, menyanyi kami bagai kor campuran
suara merdu dan sumbang – namun tetap semangat '45.
Pernah hujan deras
bukan kepalang. Hujan Papua bisa berhari-hari di musim penghujan, hanya berubah
deras ke rintik-rintik ke deras lagi – tanpa niat berhenti. Kami duduk di ruang
tamu, main kartu. Aku melirik taplak meja yang sudah menyelip ke bawah sofa. Ada kucing kecil
berusaha menariknya keluar, mau dipakai alas tidurnya di lantai yang sudah terlalu
dingin buat bulu-bulunya.
Kudengar bunyi
gemerisik lembut datangnya dari ruang tengah. Aku beringsut dan mengintip. Benar dugaanku, si
Bening hendak ngaji mengisi deras hujan dengan kemerduan-kebeningan suara bocahnya. Saya
memandang Iwan, Al dan El. Awalnya mereka belum memahami makna tatapanku. Saya
kembali memberi kode supaya menghentikan permainan.
“Ko suka sap u adek ka
(kamu suka sama adekku kah)?” tanya Iwan setengah menggoda. Saya tersipu-sipu - seingatku
begitu. Tetapi bukan demikian arti pandangan mataku. Biasa di jaman itu, kami
saling menggoda satu sama lain. Istilahnya baganggu (mengganggu). Saya ingat
jawabanku di tengah riuh hantaman air di atap rumah:
“Sa suka kalo kamorang sholat
apalagi kalo dia yang ngaji. Sa tra tahu artinya, tapi sa pu hati tenang. Sa
pikir pasti karena mengaji bikin tong pu hati tra jahat kan?”
(Saya suka kalau kalian
sholat apalagi kalau dia yang ngaji. Saya tidak tahu artinya, tapi hati saya
tenang. Saya pikir pasti karena mengaji membuat hati seseorang tidak jahat
kan?)
(Baca juga: Saya Kristen, Bukan non Muslim)
(Baca juga: Saya Kristen, Bukan non Muslim)
Hingga sekarang, pikiran saya masih memercayai hal ini. Memori saya kerap menghubungkannya dengan sabda Allah dalam
Injil seperti yang pernah kudengarkan di gereja bahwa ‘Takut akan Allah adalah permulaan hikmat dan pengetahuan’.
Akan beda kasusnya bila
ibadahmu malah menimbulkan tanda-tanya dan rasa takut. Dan saya tidak mau hidup dalam kesadaran seperti itu.
0 Response to " Mutiara Sholat dan Ngaji"
Post a Comment