Nona Pendeta Menjaga Keutuhan NKRI
“Saya
sudah tatanam di lumpur kota Merauke”
Nopen Ema, biasa
dipanggil demikian, yang artinya Nona Pendeta, adalah sebuah panggilan sayang. Keponakan
saya, Emanuella Pita Atmita Tambunan (yang tidak berkacamata), adalah pendeta muda
yang bertugas di daerah pedalaman Papua.
Menempuh sekolah pendeta di Jawa, perempuan muda yang dilahirkan di kota Merauke, Papua, ini memang telah menunjukkan kecintaan besar pada tanah tumpah darahnya sejak kecilnya. Ia selalu menyebut dirinya orang Papua yang (dalam kata katanya) ‘sudah tatanam (tertanam) di lumpur kota Merauke’. Ia telah terikat dengan tanah kelahirannya.
Waktu anak-anak, kami sering memanggilnya ‘Little Missy’, judul dari serial drama latin (telenovela) yang melegenda di jaman keemasan TVRI. Selain wajahnya memadukan orang Manado (ibu) dan Batak (ayah), ia memiliki rambut panjang sebahu bergulung cantik kepirangan, sangat mirip lakon utama dalam Little Missy.
Sekarang ia tidak kecil lagi, ia telah besar dalam arti matang dalam kehidupan, rohani dan secara akademik. Maka sehabis pendidikan, dia memilih pulang mengabdikan hidup bagi tanah penginjilan di kampung halaman dengan segala risikonya - di negeri antah-berantah bernama Ulilin. (baca juga: Bunda Teresa Cinta Neraka)
Distrik Ulilin adalah lokasi yang google map mungkin belum tahu, wilayah yang relatif baru dibentuk. Jauh dari pusat kota Merauke, mencapainya ke sana butuh nyali Rambo. Tidak beda jauh dengan keberanian Jokowi memacu motor trail di Trans Papua tempo hari.
Kondisi kehidupan sehari-hari di sana memang penuh tantangan. Listrik terbatas, hanya menyala di sore hari hingga jelang tengah malam. Terkadang bahan bakar genset habis sehingga waktu pemadaman lebih cepat.
Menempuh sekolah pendeta di Jawa, perempuan muda yang dilahirkan di kota Merauke, Papua, ini memang telah menunjukkan kecintaan besar pada tanah tumpah darahnya sejak kecilnya. Ia selalu menyebut dirinya orang Papua yang (dalam kata katanya) ‘sudah tatanam (tertanam) di lumpur kota Merauke’. Ia telah terikat dengan tanah kelahirannya.
Waktu anak-anak, kami sering memanggilnya ‘Little Missy’, judul dari serial drama latin (telenovela) yang melegenda di jaman keemasan TVRI. Selain wajahnya memadukan orang Manado (ibu) dan Batak (ayah), ia memiliki rambut panjang sebahu bergulung cantik kepirangan, sangat mirip lakon utama dalam Little Missy.
Sekarang ia tidak kecil lagi, ia telah besar dalam arti matang dalam kehidupan, rohani dan secara akademik. Maka sehabis pendidikan, dia memilih pulang mengabdikan hidup bagi tanah penginjilan di kampung halaman dengan segala risikonya - di negeri antah-berantah bernama Ulilin. (baca juga: Bunda Teresa Cinta Neraka)
Distrik Ulilin adalah lokasi yang google map mungkin belum tahu, wilayah yang relatif baru dibentuk. Jauh dari pusat kota Merauke, mencapainya ke sana butuh nyali Rambo. Tidak beda jauh dengan keberanian Jokowi memacu motor trail di Trans Papua tempo hari.
Kondisi kehidupan sehari-hari di sana memang penuh tantangan. Listrik terbatas, hanya menyala di sore hari hingga jelang tengah malam. Terkadang bahan bakar genset habis sehingga waktu pemadaman lebih cepat.
![]() |
Nona Pendeta Ema dengan temannya |
Terdengar bagai cerita
sinetron namun sungguh ini sebuah kisah nyata.
Bahan makanan adalah tantangan berikutnya, terkadang harus mancing sendiri di kali atau cabut sendiri di kebun. Saat melakukan kunjungan ke umat, dia harus selalu waspada karena ular berbisa mengintip dari balik dedaunan. Mereka harus pandai-pandai menjaga keutuhan tugas dan tanggung-jawabnya.
Dia saat tertentu, keponakan saya harus berperahu di rawa-rawa indah bermekaran enceng gondok. Tetapi awas, dilarang lalai karena rawa-rawa Ulilin merupakan sarang buaya-buaya ganas berpatroli. Dan panggang terik menyengat di atas kepala seakan hendak mengalahkan deru suara mesin yang mengusik kelenggangan alam Papua.
Dalam kondisi seperti ini, dia harus pandai-pandai menjaga keutuhan iman dan panggilan hidupnya sebagai orang Kristen karena jauh lebih mudah menemukan alasan untuk mundur teratur. (baca juga: Kening Tidak Berdusta)
Kala saya bicara di telepon dengannya, dia harus memanjat sebuah pohon, yang letaknya sekitar 15 menit dari tempat tinggalnya. Di sebuah titik yang sudah mereka tandai, sekitar dahan bagian tengah pohon, di situlah lokasi sinyal paling stabil senegeri Ulilin.
Awalnya saya tidak menyadari hal ini. Suatu ketika, saya mendengar ada suara-suara lain yang masuk ke dalam pesawat telepon saya. Saya pikir hanya kata kata yang terlambat (delayed) saya terima semata karena masalah jaringan. Sempat pula mengiranya berasal dari bocoran Telkomsel. Ternyata, itu adalah suara temannya sesama pengguna lokasi sinyal yang juga sedang menelepon seseorang di seberang sana.
Begitulah, sang Little Missy berbagi tempat dengan orang lain di tengah sepoi-sepoin angin dan erangan elang di udara. Kata kata apapun yang dia ucapkan turut didengar seseorang yang duduk nongkrong persis di sebelahnya.
Bahan makanan adalah tantangan berikutnya, terkadang harus mancing sendiri di kali atau cabut sendiri di kebun. Saat melakukan kunjungan ke umat, dia harus selalu waspada karena ular berbisa mengintip dari balik dedaunan. Mereka harus pandai-pandai menjaga keutuhan tugas dan tanggung-jawabnya.
Dia saat tertentu, keponakan saya harus berperahu di rawa-rawa indah bermekaran enceng gondok. Tetapi awas, dilarang lalai karena rawa-rawa Ulilin merupakan sarang buaya-buaya ganas berpatroli. Dan panggang terik menyengat di atas kepala seakan hendak mengalahkan deru suara mesin yang mengusik kelenggangan alam Papua.
Dalam kondisi seperti ini, dia harus pandai-pandai menjaga keutuhan iman dan panggilan hidupnya sebagai orang Kristen karena jauh lebih mudah menemukan alasan untuk mundur teratur. (baca juga: Kening Tidak Berdusta)
Kala saya bicara di telepon dengannya, dia harus memanjat sebuah pohon, yang letaknya sekitar 15 menit dari tempat tinggalnya. Di sebuah titik yang sudah mereka tandai, sekitar dahan bagian tengah pohon, di situlah lokasi sinyal paling stabil senegeri Ulilin.
Awalnya saya tidak menyadari hal ini. Suatu ketika, saya mendengar ada suara-suara lain yang masuk ke dalam pesawat telepon saya. Saya pikir hanya kata kata yang terlambat (delayed) saya terima semata karena masalah jaringan. Sempat pula mengiranya berasal dari bocoran Telkomsel. Ternyata, itu adalah suara temannya sesama pengguna lokasi sinyal yang juga sedang menelepon seseorang di seberang sana.
Begitulah, sang Little Missy berbagi tempat dengan orang lain di tengah sepoi-sepoin angin dan erangan elang di udara. Kata kata apapun yang dia ucapkan turut didengar seseorang yang duduk nongkrong persis di sebelahnya.
![]() |
Kondisi jalan dilihat dari dalam bis |
Seperti halnya para dokter,
perawat, guru, tentara dan polisi di daerah terpencil, seorang pastor atau pendeta pun
dituntut lebih daripada fungsi profesinya. Ia sekaligus konselor, penganjur
kesehatan dan pendidikan bahkan penggalang dana.
Waktu gereja tuanya hendak direnovasi, nona pendeta Ema harus gulung celana memancing ikan untuk dibuat ikan asin, dijual dan hasilnya menambah biaya pengerjaan. Untungnya sejak anak-anak ia memang hobinya mancing mania, tentunya hanya di kolam pinggir jalan bukan di rawa-rawa Ulilin.
Keponakan saya dan nona pendeta temannya yang berkacamata sedang dalam perjalanan menuju Distrik Ulilin. Pergi pagi, tiba pagi esoknya, perjalan yang sangat berat penuh hempasan. Di saat-saat tertentu, mereka terpaksa bermalam di tengah jalan kalau sangat berlumpur atau bila ada jembatan yang rusak.
Bukan perkara mudah bila harus melayani seperti ini.
Syukurlah, mereka sangat beruntung kali ini, hanya mengalami off road diayun-terayun ganas dan sesekali seperti dilontarkan bersama mobil. Kondisi punggungnya, puji Tuhan normal, hanya bokong kepanasan. Moga-moga tiada tanduk bertumbuh!
Saya salut dengan pilihan hidup dan kehidupan penuh tantangan yang ia jalani. Bagi sebagian orang memang terdengar bagai dongeng, seakan kisah nyata dibuat-buat. (baca juga: Kata Mutiara Islam Edhi Pakistan)
Waktu gereja tuanya hendak direnovasi, nona pendeta Ema harus gulung celana memancing ikan untuk dibuat ikan asin, dijual dan hasilnya menambah biaya pengerjaan. Untungnya sejak anak-anak ia memang hobinya mancing mania, tentunya hanya di kolam pinggir jalan bukan di rawa-rawa Ulilin.
Keponakan saya dan nona pendeta temannya yang berkacamata sedang dalam perjalanan menuju Distrik Ulilin. Pergi pagi, tiba pagi esoknya, perjalan yang sangat berat penuh hempasan. Di saat-saat tertentu, mereka terpaksa bermalam di tengah jalan kalau sangat berlumpur atau bila ada jembatan yang rusak.
Bukan perkara mudah bila harus melayani seperti ini.
Syukurlah, mereka sangat beruntung kali ini, hanya mengalami off road diayun-terayun ganas dan sesekali seperti dilontarkan bersama mobil. Kondisi punggungnya, puji Tuhan normal, hanya bokong kepanasan. Moga-moga tiada tanduk bertumbuh!
Saya salut dengan pilihan hidup dan kehidupan penuh tantangan yang ia jalani. Bagi sebagian orang memang terdengar bagai dongeng, seakan kisah nyata dibuat-buat. (baca juga: Kata Mutiara Islam Edhi Pakistan)
Namun
begitulah, Indonesia, mari kita mengucap kata syukur bahwa ada
perempuan-perempuan muda, terlepas mereka orang Kristen atau bukan, yang berkenan menjadi penjaga dan menjaga keutuhan NKRI tercinta.
Sebab menjaga keutuhan NKRI adalah harga mati!
Sebab menjaga keutuhan NKRI adalah harga mati!
0 Response to "Nona Pendeta Menjaga Keutuhan NKRI"
Post a Comment