Apakah Bijak Bila Seorang yang Bukan Murhim Memberi Bantuan dalam Keadaan Darurat?

Perdebatan tentang haram tidaknya bila seorang yang bukan murhim memberi bantuan terlebih dalam keadaan darurat
Ilustrasi
Apakah haram hukumnya menerima bantuan dari seseorang yang bukan murhim dalam keadaan darurat? Apakah bila bukan pasangan resmi, dalam arti telah menikah dengannya, tidak boleh memberi bantuan karena dilarang agama (Islam)? Apakah memang bahkan seorang Muslim pun dilarang memberi bantuan dalam keadaan genting kepada sesamanya dikarenakan ada risiko bersentuhan secara fisik?

Beberapa waktu lalu, viral beredar sebuah peristiwa yang memaksa kita untuk memikirkan kembali hal yang tampaknya sudah jelas jawabannya ini. Dikisahkan seorang wanita yang memakai jilbab terjatuh ke dalam kubangan di jalan raya Surabaya. Baju gamisnya tersangkut ke jeruji roda motornya. Seorang pria yang kebetulan berada di lokasi spontan hendak menolong yang bersangkutan.

Akan tetapi, sang ibu menolak dengan alasan bahwa laki-laki yang hendak membantu tersebut bukan murhimnya. Bahkan beliau dengan keras mengatakan bahwa hanya menerima bantuan dari seorang wanita.

Yang sangat menarik adalah, minimal di salah satu status temanku di Facebook, ribuan orang berkomentar. Banyak dari komentar yang ada justru tidak fokus pada fakta situasi darurat yang mendasari laki-laki yang berniat memberi pertolongan itu. Mereka justru lebih mengomentari kata jilbab dan upaya mendiskreditkan entah jilbab maupun Islam sebagai agama dan pilihan hidup.

Sebagian malah ‘menitipkan’ kata-kata amarah, agresif dan penuh curiga, jauh dari bijak.

(Baca juga: Kata Bijak dalam Peribahasa Makan Asam Garam Kehidupan)

Murhim adalah sebuah kata yang kerap diulang-ulang dan mendapat ekspose besar di media sosial dan dalam pelbagai kesempatan. Banyak organisasi massa berlabel Islam ataupun tokoh-tokoh agama yang kerap membicarakannya.

Di sisi lain, peristiwa di atas, terlepas dari tuduhan sejumlah orang bahwa kejadian tersebut bukan kisah nyata namun hoax, memberi kita kesempatan emas untuk membicarakannya kembali.

Saya sungguh tertarik menggali lebih jauh. Untuk itu, saya bertanya kepada tiga orang teman Muslim yang saya anggap berkompeten untuk mengulasnya. Kepada mereka, saya mengajukan pertanyaaan seperti di bawah ini:

“Apakah benar ada dasar Quranik atau
apakah bijak mengatakan bahwa haram hukumnya menerima bantuan dari non murhim dalam keadaan darurat?

Mari kita bayangkan sejumlah skenario, misalnya, kebakaran, dan petugas pemadam kebakaran hendak membawa turun seorang ibu yang terjebak api dalam rumahnya. Apa tetap haram hukumnya?

Atau seorang pria menemukan seorang ibu hendak diperkosa, peria tersebut bukan murhim korban, apa tetap haram hukumnya?

Keadaan darurat, itulah substansinya, bukannya setiap agama mengajarkan cinta pada sesama? Apa tetap haram hukumnya, dalam 2 situasi hipotetikal di atas, atau sebenarnya ada pengecualian?”


Teman Dwi Pratiwi Lestari, dosen di Alkhairaat dan IAIN Palu, master dalam Pendidikan Agama Islam dari UIN Suka, Yogyakarta, menjawab:

“Itu sih kata orang-orang yang pemahamannya sempit, entah dari mana dia belajar, lha wong di Alquran gak ada haramnya menerima bantuan apalagi dalam keadaan darurat
.

Dalam kaidah Ushul Fiqh dikatakan "adharuratu tubihul mahzurat", keadaan darurat mebolehkan apa yang dilarang. Dalaml kaidah lain disebutkan tidak ada pengharaman dalam keadaan darurat..

Orang Islam ya kalau tidak belajar Ushul fiqh akan menjadi sempit pengetahuannya, dan tahunya cuma halal haram saja...”
(Baca juga: Kata-Kata Cinta Merpati Putih yang Berlumuran Darah di Cekungan Tembok)

Teman Abad Badruzaman, dosen di IAIN Tulungagung, doktor dari Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, menjawab:

"Sepengetahuan saya, dalam Ushul Fiqh (kaidah hukum Islam), ada kaidah "darurat menghalalkan yang haram". Jangankan dalam urusan kebakaran dan perkosaan, dalam hal makanan pun, jika darurat, makanan haram menjadi halal.

Jika tidak demikian, maka agama berubah menjadi sesuatu yang kaku bahkan sadis. Agama model apa itu?”


Teman Wakhit Hasim, dosen di sebuah perguruan tinggi Islam di Cirebon, sedang doktoral di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menjawab:

“Pertama, tidak ada larangan saling bantu dan menerima bantuan dari orang lain, termasuk non muslim. Kedua, apalagi dalam keadaan darurat. Adanya larangan meminta bantuan orang"kafir" adalah dalam konteks perang. Kafir=musuh.

Kalau meminta bantuan musuh bisa berbahaya untuk komunitas (Islam) awal dulu’.

Murhim sebagai sebuah terma dan ajaran Islam kini jelas sekali konteks dan pemaknaannya, baik terkait relasi sosial antar pemeluk agama dan terlebih dalam keadaaan darurat.

Tidak ada kata larangan untuk menerima dan memberi bantuan, tidak ada sama sekali, kecuali dalam konteks perang. Tidak ada juga larangan memberi dan menerima bantuan dalam keadaan darurat. Bahkan tersirat kita bahwa sungguh bijak menawarkan bantuan sebagai ekspresi kata cinta kepada sesama.            

Pertanyaannya, mengapa kerap kita mendapati murhim diartikan sangat berbeda di kalangan sementara internal umat Muslim? 



(Baca juga: Ada Apa di Balik Fenomena Banjir Kesalehan?)

Murhim atau tidak, setiap orang wajib hukumnya memberi bantuan atau haram hukumnya bersikap apatis. Menolak bantuan boleh saja, tetapi tidak tepat bila memakai alasan bukan murhim apalagi dalam keadaan darurat.

Ini, sebenarnya, hanya soal akal sehat!





kata bijak motivasi singkat cinta kehidupan mutiara islami mario teguh sabar dalam kisah nyata




Pemesanan:

082-135-424-879/WA
5983-F7-D3/BB
Inbox Rudy Ronald Sianturi 


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Apakah Bijak Bila Seorang yang Bukan Murhim Memberi Bantuan dalam Keadaan Darurat?"

Post a Comment