Buya Maarif: Manusia Emas Agamanya Islam
Teman saya suka
kehilangan barang tanpa sebab. Nasehat saya sangat simpel, rapikan dan tata
meja sehingga setiap barang dalam kelompoknya. Manakala kehilangan duit, rapikan
rencana keuangan. Tidak ada tuyul atau babi ngepet, dukun kamu bohong!
Rapi memudahkan kendali
atas hidup.
Halnya interaksi di
sosial media, adab dan kerapian tuturan memudahkan kendali atas pikiran. Sebab marah
pun harus argumentatif.
Belakangan ini, muncul orang-orang
antah berantah, hanya karena tidak sepakat kata-kata Buya Maarif yang tegas
mengajak bangsa Indonesia berpikir cermat dan rapi dalam kasus Ahok, maju
serempak menyerang ulama-cendikiawan ini dengan semburan kata-kata berbisa.
Sebagian dengan gagah menanggalkan panggilan buya karena katanya ‘engkau bukan
lagi buya kami.’ Padahal mungkin Maarif sudah melalap buku tebal-tebal saat
dianya masih ngedot.
Dalam demokrasi, kebebasan
berpendapat dijamin Konstitusi Indonesia. Bahkan kebebasan berpendapat merupakan
roh yang wajib dipelihara dan dirawat. Maka negara tanpa ragu mengeluarkan dana
sangat besar guna mengamankan hak konstitusional pada pendemo Ahok hingga dua
kali tersebut. Kalau dihitung, berapa banyak yang dihabiskan dan uang itu berasal
dari para pembayar pajak yang sebagian adalah orang-orang yang -hari-hari ini- justru
dinista, dihina, diancam serta diintimasi -- verbal maupun fisik.
Apakah kita sadar
dengan ironi dasyat menyakitkan ini bahwa sebagian orang ‘membiayai’ mereka
yang garang mengatakan bahwa mereka sang pembayar, karena dianggap
seirama-seagama-sepikiran dengan Ahok, sejengkalpun tidak berhak atas Republik ini?
Dan setelahnya dengan tulus dibantu kepulangannya menggunakan bis-bis yang
lagi-lagi dibiayai oleh para pembayar pajak tersebut. Sementara itu, Pemrov DKI
harus merogoh dana besar untuk membersihkan sampah dan memperbaiki berbagai
fasilitas publik yang rusak?
Apakah Buya Maarif menyinggung
hal-hal ini? Seperti juga banyak orang yang menyadari hak konstitusional warga,
tidak sama sekali. Beliau sangat sadar bahwa para pendemo Ahok berhak turun ke
jalan sejauh tertib dan tidak anarkis. Fokus beliau adalah kecermatrapian berpikir dan bertindak dalam bingkai keutuhan bangsa
dan negara. Emosi berlebihan tidak punya tempat.
Maarif hanya
menggunakan hak konstitusionalnya dalam menyuarakan pikiran dan pandangannya. Sama
persis seperti pendemo dan para pendukungnya. Biasa saja dalam kehidupan
bermartabat. Hanya karena suaranya beda dan tidak seirama-senafas dengan
tuntutan ‘Ahok harus salah, penjarakan Ahok’, ia dianggap membela kafir.
Kembali ironi dasyat menyakitkan.
Kafir? Mudah sekali melabeli siapa saja sebagai musuh dan musuh pasti autokafir.
Ini sebuah kekejian karena sepenuhnya melawan hakekat Allah sebagai cinta. Ia sebuah
kekejian karena di dalamnya mengandung berbagai hal buruk –demonisasi- dan
justifikasi bahwa Allah melalui umatnya layak membenci yang buruk-buruk itu. Sementara
sang kafir seakan membiayai sebuah perhelatan hak konstitusional yang berisi
orasi-orasi kebencian terhadapnya.
Sudah pasti Maarif
tidak berpikir dalam terminologi melecehkan ini. Dia tidak membela Ahok berikut
para kafir dan munafikun per se. Dia sebenarnya membela kata hati nurani sendiri! Dia
seorang ulama terpelajar, bagaimana mungkin Islam seperti dia mengingkari kebenaran
yang ia yakini?
Ini ciri-ciri orang
berkarakter. Dalam bahasa Bapa saya: orang berjiwa besar.
Siapa saja boleh tidak
setuju dengan Buya Maarif. Tetapi menyerang dengan keganasan yang tidak pantas
ditunjukkan kaum ber-agama apalagi bila mengklaim ber-Tuhan itu sudah melampaui
hak konstitusional. Tidak setuju, katakan dengan argumentasi. Tambahkan
kegeraman, boleh sekali. Tetapi mencela, merusak kredibilitasnya dan melakukan
kekerasan verbal secara masif tanpa sedikitpun menanggapi argumentasi beliau, itu
apa namanya kalau bukan pembunuhan karakter? Bagaimana mungkin hak konstitusional
harus hanya berlaku untuk sekelompok
orang dan di luar itu, kasta kafirun dan munafikun?
Sekali lagi, marah pun
harus argumentatif!
Tampaknya, hari-hari
ini kita berhadapan dengan 'angkatan’ yang gandrung dengan kata-kata jahat,
yang membolak-balik kebaikan seenaknya - dengan mengandalkan jumlah bukan kerapian
argumentasi. Tuduhan, fitnah, hoax, intimidasi, ancaman, pelecehan...ditebar
secara masif dan terencana - tanpa malu dengan alasan ibadah.
Buya Maarif adalah guru
bangsa, sudah teruji lama, bukan anak kemarin sore. Ia sudah lama menempati hati
anak-anak bangsa sebagai Islam bercahaya, bukan seminggu belakangan ini.
Saya pribadi angkat
topi buat ketegaran beliau. Di tengah riuh cemooh dan tekanan, Maarif adalah
Suara Kenabian bagi angkatan yang belum jua tamat belajar tentang dirinya
sendiri namun begitu percaya diri merendahkan manusia emas Republik ini.
Dengar baik-baik.
Sekelas Buya Maarif hanya bisa satu liga dengan Gus Dur, Gus Mus, Nurcholis Madjid,
Romo Mangun, Bunda Teresa, Pablo Neruda, Pramoedya, Soekarno, Hatta, Nelson Mandela,
Mahatma Gandhi, dkk. Selain itu, degradasi!
Berkat manusia emas
ini, satu dari seven samurai Islam, saya mengatupkan kedua tangan di dada seraya hormat mendalam pada Islam.
Tenun & Batik Rose'S Papua
Tenun & Batik Rose'S Papua
terukur
ReplyDeleteMakasih mas Allany.
ReplyDelete