Kata Mutiara Dalam Semangkuk Bubur Manado Papua


Bubur Manado mengajarkan kita tentang pluralisme atau kemajukan dalam masyarakat

Manado adalah negeri elok yang telah mengubah masakan sebagai ekspresi pluralisme. Ketika kamu berkutat soal apa mungkin mencampur kangkung dan labu kuning, masyarakat Sulawesi Utara sudah memecahkan kebuntuan olah rasa sejak Belanda masih jauh. Ketika kamu sulit membayangkan jagung dan ubi jalar dicampur bayam, mereka sudah selesai masak sebelum Laksamana Cheng Ho tiba di pelabuhan Semarang.


Bubur Manado bukan saja memperkaya kuliner Nusantara, ia menguak karakter masyarakat Sulawesi Utara yang lincah kata, terbuka dan inovatif. Resep bubur Manado ibarat peribahasa ‘asam di darat ikan di laut, bertemu dalam belanga juga’. Jagung, keladi, labu kuning, kangkung, bayam, kacang panjang, daun kemangi, kaldu daging, daun salam, daun bawang, sereh dan lada saling memadu rasa dalam adukan bubur sangat menggoda. Apalagi dimakan dengan suwir-suwir ikan tuna atau ikan asin dicocol sambal, mendadak lupa mertua demi semangkuk lagi!


Masakan Manado memberi kita seuntai kata mutiara indah: inovasi dan filosofi.


Setiap bahan memiliki sifat, rasa, tekstur dan wangi khas. Saya suka masak dan bisa menghidangkan beberapa jenis masakan. Pengalaman mengajarkan bahwa setiap bumbu, material dan cara memasak menghasilkan tampilan dan selera unik. Api besar atau api kecil bukan sekedar perkara berapa lama harus direbus, melainkan soal apa yang akan terjadi dengan ikatan jaringan dari ikan, daging atau sayur di dalam kuali. Ketika kamu mengombinasikan berbagai bahan yang berbeda-beda sifat kimiawi dan responnya pada panas, itu sebuah terobosan yang membutuhkan nyali dan nalar. Inovatif!


Bubur Manado mengajarkan pecinta kuliner Nusantara sebuah pelajaran menarik. Rasa dan tekstur serta bau material saling melebur namun pada saat yang bersamaan, masing-masing item mempertahankan ciri khasnya. Setiap hal mencampurkan dirinya dan setiap hal tetap berasa seperti aslinya. Keunikan dalam kemajemukan meskipun dimasak dalam waktu lama, sebuah filosofi bermasyarakat tiada bandingnya.

(Baca juga: Persekutuan Ahok, Soe Hok Gie, Ahmad Wahib dan Chairil Anwar)

Menyantap sebuah masakan adalah olah kepekaan. Lidah merupakan organ pengecap yang permukaannya terbagi area-area rasa utama (manis, pahit, asin, asam). Sumbangan paling meriah dari bubur Manado pada pecinta kuliner Nusantara adalah ia memungkinkan kita melatih lidah dalam mengombinasi rasa sekaligus mendeteksi keunikan tiap bahan serta bumbu. Inilah yang saya maksudkan dengan kata atau ekspresi pluralisme di atas, kemajemukan dan keunikan dalam pelangi rasa yang membuat lidah nyaman. Sungguh terpuji orang-orang cantik Sulawesi Utara!


(Baca juga: Jepang: Demi Ramen dan Cinta)

Lidah tidak bertulang, kata orang bijak. Sayang, acapkali orang menyalahgunakan peribahasa bagus ini untuk mengelak pertanggungjawaban atas kesalahan. Khilaf adalah dalih paling populer dewasa ini. Tak peduli sebuah kejahatan pun, telah dilakukan berulang kali dalam waktu panjang, masyarakat kita cenderung membuat kata-kata alasan. Maka korupsi ratusan milyar dianggap khilaf. Penipuan terhadap ratusan ribu jemaat yang hendak ibadah umroh dianggap khilaf. Persekusi berjamaah via media sosial (medsos) sehingga merusak kehidupan satu keluarga pun dianggap khilaf.


Sesungguhnya lidah tidak bertulang merupakan fakta anatomis yang sangat penting bagi pernafasan, kapasitas bicara, proses pengecapan, pencernaan, proses mengunyah dan menelan makanan. Bandingkan saat anda sakit. Anda kehilangan selera. Apapun yang masuk ke mulut segera ditelan karena serasa siksaan. Atau tidak mau makan sama sekali.

Bubur Manado racikan Sulawesi Utara menyempurnakan mengapa lidah tak bertulang. Ketika menyantapnya, berbagai area rasa serentak berorkestra dan lidah menempatkan setiap komponen bahan pada tempatnya, melaburinya dengan enzim amilase yang mengubah karbohidrat menjadi glukosa dan membantu dorong melalui tenggorokan ke dalam lambung dengan nyaman.


Kemarin kakak saya mengirimkan foto-foto di dapurnya ketika mereka sibuk menyiapkan bubur Manado. Hari masih pagi, udara Merauke, Papua, tampak berkabut. Kakak saya baru saja turun dari pesawat setelah beberapa hari menunaikan tugas ke Jakarta. Bandara berdekatan dengan pasar besar, jaraknya sekitar 2 kilometer. Beliau ini salah satu andalan soal masak-memasak dalam keluarga kami, sering dijadikan rujukan resep.


Ini bukan pertanyaan masak apa hari ini, namun soal saya juga mau masak. Alkisah, tiga hari lalu, seorang kakak saya yang lain meminta resep bubur Manado kepadanya. Setelah seharian berkutat, sang suami memamerkan semangkuk bubur di grup WA keluarga. Seperti biasa, banyak komentar dan kisah tumpah ruah dibumbui banyolan-banyolan. Jadi begitu menginjakkan kaki di Kota Rusa, Merauke, pikiran pertama dia adalah mengisi akhir minggu bukan dengan nasi goreng yang juga andalannya, namun dengan membuat bermangkuk-mangkuk bubur!


Masakan kakak saya memang terkenal lezat dan cukup termasyur di kota Merauke, Papua. Rasanya jangan tanya, maknyus Bondan Winarno! Kemarin saja seorang ibu muda ngidam masakannya dan ternyata baru bisa melahirkan setelah dimasakin. Atau abang kami sakit dan hanya mau makan bubur Manado buatan beliau. Ada ikatan emosional terangkai, hal yang sungguh dihayati orang Padang, Sumatra Barat, yang kerap menamai bisnisnya: Rumah Makan Padang Bundo Kanduang.


Dari semua foto yang dikirimkan, mata saya tertarik pada ekspresi gembira Dinah, anak asuh keluarga kami, Muslim-Jawa, yang sudah banyak menyerap kecakapan memasak kakak. Saya pernah menulis artikel tentang relasi yang kami jalin dalam konteks kemajemukan SARA di kota Merauke. Dinah sedang kuliah saat ini dan dia telah bersama kami, keluarga Kristen Batak, sejak masih SMP.

(Baca juga: Merauke Gudangnya Cinta dan Kewarasan)

Artikel yang telah dibaca lebih dari 17.000 kali tersebut mengundang banyak respon.
Pada umumnya pembaca merasa bahagia. Hal ini menegaskan bahwa pluralisme atau kemajemukan adalah fakta sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Sebagian lagi bersuara negatif dan secara kasar menyerang saya secara pribadi. Sebagian berdiri di daerah ‘kesalehan abu-abu’, dengan bijak setulus cinta mendoakan saya sekeluarga mendapat hidayah seakan Kristianitas bukan hidayah terindah bagi kami. Sejumlah orang malah mencurigai niat Kristenisasi terhadap Dinah dan menghujani saya dengan ayat-ayat secara absurd.

(Baca juga: Keponakanku Muslim, Saya Kristen)


Padahal kitorang bahagia dan nyaman dalam pelangi perbedaan di Indonesia. Hampir sepuluh tahun adalah kisah nyata yang tidak bisa disepelekan bahwa relasi kami, sembari ia mewujud majemuk, sekaligus mempertahankan keunikan iman masing-masing. Ketakutan orang-orang bahwa akidah Dinah bakal tercemar itu karena mereka masih tercebur peribahasa ‘nasi sudah jadi bubur’. Akan berbeda bilamana mereka berani berinovasi ke kedalaman bubur Manado!


Semangkuk bubur Manado panas dari Papua, seuntai kata mutiara tentang pluralisme, bakal menghangatkan perut banyak orang hari ini.

Jual Tenun & Batik Rose's Papua
kata bijak motivasi singkat cinta kehidupan mutiara islami mario teguh sabar dalam kisah nyata

Pemesanan:

082-135-424-879/WA

5983-F7-D3/BB


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kata Mutiara Dalam Semangkuk Bubur Manado Papua"

Post a Comment