Nelson Mandela Adalah Nabi Modern, Bukan Perangkul Biasa

Strategi pemasaran di tangan konsultan bisa sangat efektif mengungkap bualan jualannya seperti kehebohan upaya mengasosiakan Anies Baswedan dengan sang ‘nabi modern’ Nelson Mandela.

Aduh gila!

Sejarah hanya memberi kita segelintir manusia yang kemanusiaannya mencapai taraf CAHAYA dunia. Kebanyakan orang berjuang mencapai ekspresi nilai-nilai terbaik peradaban manusia. Sebagian di antaranya merasa tersesat dalam dunia maha luas ini. Stress, depresi, insomnia, kecanduan obat-obatan dan pengasingan diri merefleksikan betapa tidak mudahnya mencapai kemanusiaan unggul. 

Ribuan tahun sudah agama-agama berkelana di muka bumi, dan kerap ‘terlambat’ mengantisipasi berbagai tantangan kehidupan yang kerap melempar seseorang di tubir putus asa dan tanda tanya. Bilyunan kata-kata suci telah diwartakan. Apakah hasilnya? Dalam sejumlah riset lapangan terungkap bahwa orang-orang yang dibesarkan ketat dengan nilai-nilai agama cenderung atau lebih mungkin melakukan hal-hal buruk dan jahat dibandingkan mereka yang dibesarkan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang abadi dan universal.

Beragama saja rupanya tidak cukup. Dalam manusia bergejolak dua dorangan: kebaikan dan kejahatan. Di antara keduanya tindih-menindih berbagai ‘kecenderungan abu-abu’ yang kerap membingungkan kata hati nurani. Kita harus ber-Tuhan.

Saya suka membaca Nelson Mandela. Ia merupakan cahaya dunia, sang nabi yang setara Mahatma Gandhi, Bunda Teresa, Islam Edhi Pakistan, Paus Yohanes Paulus II atau Dalai Lama.

Saya kenal dan membaca tentang orang-orang luar biasa, para legenda di berbagai bidang, dan sangat menghormati kemanusiaan mereka. Tapi halnya tingkatan 'nabi universal' sepanjang masa, mereka belum namun di sudah di jalan yang sama.

Waktu membaca Long Road to Freedom, novel-otobiografi Nelson Mandela, 600-an halaman, saya membaca tanpa henti, mengunyah sampai tuntas kisah nyata abad 20 ini hingga matahari esoknya. Sebuah kisah nyata yang menceritakan bagaimana kehidupan di penjara Robben Island, tempat ia ditahan regim rasis Afrika Selatan selama 18 tahun, sebagai ‘pulau universitas kehidupan’. 

Ia menorehkan kata-kata dan menyimpan setiap oretannya, cikal bakal otobiografinya, dalam bumbung bambu yang ditanam di bawah sebuah pohon dekat lapangan soccer (bola tangan) tempat mereka bertanding disaksikan para sipir penjaga yang senang mendapatkan hiburan dari kebosanan penjara.

Dalam novel itu, kemanusiaan utuh dengan integritas moral dan politik. Ia menolak politik balas dendam dan politisasi SARA. Ia memelopori pemulihan luka-luka batin anak bangsa yang dipaksa dalam kungkungan politik apartheid rasis yang sangat kejam.

Menakar Anies Baswedan dalam buku yang luar biasa dalam dan cerdas jangkauan pemikirannya, sepertinya dia perlu doktor dua kali lagi untuk mencapai tingkatan sang nabi modern.

kata kata bijak, kata kata mutiara, kata kata cinta, kisah nyata

Apalagi menyangkut rekonsiliasi nasional. Anies sepenuhnya tak bisa dibandingkan dengan Nelson Mandela. Anies itu 'merangkul', sekadar mendirikan penampungan gerombolan yang memusuhi dan mengkapitalisasi permusuhan terhadap Ahok, bukan karena sekepentingan buat bangsa-negara. Anies sama sekali tidak menyediakan platform serta ekologi yang pas dan nyaman bagi semua orang untuk menyelesaikan konflik lantaran pilkada DKI Jakarta.

Soccer adalah kisah nyata sangat menarik dalam proses rekonsiliasi nasional di Afrika Selatan. Sebagai bagian dari persemakmuran Inggris, Afrika Selatan terlibat dalam kompetisi soccer antar negara. Baik warga kulit hitam maupun putih sama-sama maniak olahraga ini. Dalam rangka memulihkan cabik-cabik bangsa, Nelson Mandela membentuk tim nasional yang beranggotakan pemain-pemain hitam maupun putih. 

Sebuah film barat arahan Clint Eastwood, Invictus (2009), dimainkan Morgan Freeman dan Matt Damon, merangkumnya dengan ciamik.

Invictus sebenarnya judul sebuah puisi oleh penyair Inggris William Hernest Henley (1849-1903). Bagian terakhir berbunyi:

It matters not now ho strait the gate,
How charged with punishment the scrolls,
I am the master of my fate
I am the captain of my soul.

Dalam terjemahan bahasa Indonesia, dua baris terakhir berbunyi:

Saya adalah tuan atas takdirku,
Saya adalah kapten atas jiwaku.

Jelas sekali spirit dari film barat Invictus yaitu bahwa rasisme, politik SARA dan ancaman penjara tidak bakal menggoyahkan jiwa dan akal sehat seseorang kecuali atas kehendaknya.

Pada titik ini, saya pikir semua orang termasuk sang konsultan Eep Saefulloh Fatah pun tahu bahwa penyamaan Anies Baswedan dan Nelson Mandela sepenuhnya kata-kata bualan.

Yang mereka tidak sadari adalah bualan marketing seperti ini sangat memuakkan!

Tolong hentikan kampanye serta strategi pemasaran yang penuh distorsi. Segera pangkas angkara murka dan nafsu kekuasaan sebelum Anies ditelan hidup-hidup oleh nganga mulut-mulut mereka. Fokus pada program-program yang realistis sesuai janji-janji kampanye politik. Saatnya kerja, kerja, kerja.

Saran saya, galilah hal-hal terbaik dalam diri Anies Baswedan, dan secara jujur-akurat susunlah strategi pemasaran dan personal branding yang otentik. Pakailah kata-kata sendiri.

Ingatlah, sejak saat inipun tinta sejarah sudah menorehkan catatan hitam pekat bahwa political marketing berbasis politisasi agama telah merobek-robek tenun kebangsaan Indonesia, meracuni otak jutaan anak bangsa dan tengah menghasilkan satu generasi saleh namun brangasan dalam religiusitasnya.

Generasi saleh tetapi salah (olah pikir).

Berhenti mendustai kata hati nurani!

Catatan akhir:
Nelson Mandela agamanya Kristen. Perjuangan dia banyak diilhami imannya. Salah satu pendukung-sahabat setianya adalah Uskup (Gereja Anglikan) Desmon Tutu. Konsultan Eep Saefulloh Fatah pingin didemo berjilid-jilid ya?


Pemesanan:
082-135-424-879/LINE
5983-F7-D3/BB
Inbox Rudy Ronald Sianturi 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Nelson Mandela Adalah Nabi Modern, Bukan Perangkul Biasa"

Post a Comment