Pitagoras, Zakir Naik dan Harmoni
“Numerologi
adalah jalan mistikus yaitu mereka yang sungguh memiliki rasa sayang dengan
Allah”
Adalah Pitagoras, seorang filsuf matematikus, kelahiran 570 SM di Pulau Samos Yunani kuno, yang sering diasosiasikan dengan angka. Bukan hanya mewariskan rumus Pitagoras, ia berkontribusi besar dalam bidang filsafat dan spiritualitas.
Pitagoras gemar dengan
angka dan otak-atik angka. Setelah berkelana ke Mesir dan Yunani, dia berdiam
di Croton (Italia Selatan) dan mendirikan sebuah sekte agama berbasis angka.
Bagi Pitagoras, segala
sesuatu angka. Artinya, segala sesuatu bisa diangkakan. Alam semesta seperti
notasi getaran dan menghasilkan paduan musikal menawan. Angka-angka
menghasilkan musik dan makna. Maka seberapa nyaman dengan angka ibarat seberapa
nyaman dengan kata kata yang anda ucapkan.
Sebelum menepis kata
kata Pitagoras, anda mungkin pernah membaca bahwa Februari 2016, resmi
diumumkan betapa alam semesta mengeluarkan getaran. Dan yang paling spektakuler
adalah tertangkapnya gelombang gravitasi tersebut secara langsung.
Albert Einstein telah
memprediksinya 100 tahun lalu. Hukum Relativitas mengatakan bahwa semesta pada
dasarnya musikal. Karena suaranya sangat pelan, kita mungkin mendengarnya saat terjadinya
interaksi antara dua atau lebih benda masif angkasa. Riak jagat raya yang terekam
Februari 2016 di atas berasal dari bergabungnya (merger) dua lubang hitam
sekitar 1,3 milyar tahun lalu. Peristiwa ini mengukuhkan gambaran dunia sebagaimana
yang dipahami ilmu pengetahuan.
Saya tahu sebagian orang akan bilang, kitap sucinya sudah mengatakan hal ini dari dulu. Saya pikir sangat berlebihan karena kitap suci tidak bakal mengatakannya begitu rinci lengkap dengan seperangkat pemodelan matematika dan proses verifikasi yang super ruwet. Apalagi, sebelum agama Yahudi, Kristen dan Islam, hukum Pitagoras sudah jauh lebih maju dengan telaah filsafat dan matematikanya.
Saya tahu sebagian orang akan bilang, kitap sucinya sudah mengatakan hal ini dari dulu. Saya pikir sangat berlebihan karena kitap suci tidak bakal mengatakannya begitu rinci lengkap dengan seperangkat pemodelan matematika dan proses verifikasi yang super ruwet. Apalagi, sebelum agama Yahudi, Kristen dan Islam, hukum Pitagoras sudah jauh lebih maju dengan telaah filsafat dan matematikanya.
Saya yakin sekarang
sudah jelas bagi kita mengapa Pitagoras bahkan menemukan Allah dalam angka. Ia
bukan sedang bicara angka dalam pengertian biasa namun dalam pemahaman
matetika, filsafat dan khususnya rohani. Ia merasakan getaran, riak-riak kehadiran
Allah, bahwa segala sesuatu merupakan bagian dari notasi misterius penuh cinta kasih.
Apabila angka
mengekspresikan cinta kasih yang membuat jiwa-jiwa merindukan naik ke sang
Sumber, maka numerologi (pemujaan angka) adalah jalan mistikus yaitu mereka
yang sungguh memiliki rasa sayang dengan Allah.
Angka menyimbolkan
sesuatu. Angka 1 adalah penyebab (asal muasal) segala angka. Angka 2 adalah
opini, sedangkan angka 3 adalah harmoni.
Ambil contoh, hari
terakhir bulan Maret, 3 1 3, yang berarti 'harmoni penyebab harmoni'. Konsekuensinya,
siapapun yang memuja 313 harusnya menjadi penyebab harmoni.
Pitagoras banyak memengaruhi
baik agama Kristen maupun agama Islam selama berabad-abad. Fakta ini penting
ditegaskan karena banyak orang tidak menyadari adanya ‘musik Pitagoras’ dalam
kehidupan beriman dan pola berpikir termasuk berteologi berbagai agama semitis.
Bisa juga diperbincangkan seberapa besar proses berpikir musikal yang
dikembangkan Plato, filsuf besar setelah Pitagoras, yang menekankan ritme dan
harmoni dalam bangunan dasar alam semesta. Ajaran Plato ini kemudian
memengaruhi baik dunia Kristen maupun Islam.
![]() |
Pithagoras sang Filsut dan Mistikus |
Tidak perlu jauh-jauh,
begitu banyak orang yang suka berkata: hidup ini harus seimbang. Atau ketika
anda naksir berat pada gadis sebelah rumah, anda akan berusaha mencari berbagai
hal serupa demi melancarkan rayuan maut. Anda mencari harmoni, bukan
disharmoni. Bukan begitu? Ngaku saja, tong! Ini cerminan musikalitas dalam
kehidupan sehari-hari. Apalagi kalau anda merayu pakai gitar, dijamin suara fals
andapun dianggapnya merdu. Kecuali kalau dia sudah ada yang punya, pulang saja
kau!
Demikian Pitagoras.
Nah, belakangan heboh kedatangan
seorang cerdik pandai dari India, Dr. Zakir Naik, yang diklaim sangat pakar
melebihi kebanyakan pakar. Dalam roadshow
ke sejumlah kota, ia memberi banyak pengajaran di sejumlah kampus. Satu yang
menarik perhatian saya adalah kata kata bahwa Ahok munafik karena meskipun
banyak membangun mesjid namun tidak sholat.
Aneh mendengar kalimat seperti
ini. Saya ketemunya tak sengaja namun berkali-kali saking seringnya dicecerkan
banyak orang secara bombastis.
Logika Zakir Naik
rasanya sangat absurd. Apa urusannya Ahok membangun mesjid dan keharusan dia
menjalani sholat? Apa pula hubungannya dengan pilkada bahwa Muslim tidak boleh
memilih pemimpin non Muslim?
Ahok Kristen, wajar
bila tidak sholat. Ia membangun mesjid sebagai abdi masyarakat Jakarta, bukan karena pilkada. Maka
ada sesat logika yang sangat telanjang.
Yang mengherankan
adalah kata kata Zakir Naik ini dielu-elukan dan dibagikan banyak orang seakan
logika super brilian. Mereka sangat lugu atau sebenarnya salah memahami?
Di balik ini, saya
justru mendapati sesuatu yang membuat saya resah. Saya pikir sungguh memalukan,
semacam mental terjajah sebagian orang Indonesia yang sangat parah, bahwa mereka
membutuhkan justifikasi seseorang dari India yang secara formal akademik adalah
dokter bedah dan bukan pakar agama, justifikasi bahwa benar memilih Ahok sama
dengan mengingkari keagungan Alquran. Bahkan terkesan, kata kata Zakir Naik dipakai
mereka untuk membenarkan kebencian terhadap orang Kristen.
Indonesia berjubel
ulama yang memang pakar di bidangnya, ulama pemikir-penulis-pembaca, mengapa
bukan mendengarkan mereka sebagai pembanding? Bukankah demikian proses ‘membaca
secara membaca’ - iqra?
Orang-orang ini lupa melakukan
proses iqra sebab bahkan beliau, tamu
agung dari India tersebut, ditolak di negeri asalnya. Ia juga ditolak di
Malaysia (yang ironisnya, kerap dijadikan rujukan negara bersyariah) dan di
berbagai tempat lainnya justru karena kata kata yang ia ucapkan.
Orang-orang ini tidak
peduli dengan harmoni. Mereka mengkaji di kampus-kampus bukan dalam semangat
perbandingan agama, khususnya Kristen dan Islam. Mereka mencintai disharmoni
sembari memuja angka dan kombinasinya (yang justru mencari harmoni).
Mistisisme angka seyogyanya
membawa kebeningan dan damai. Bila sebaliknya, menimbulkan lumatan amarah dan
caci maki dan doa jahat, ia yang memuja angka 313 mengingkari, mungkar terhadap
getaran kebaikan dan cinta kasih dalam angka.
0 Response to "Pitagoras, Zakir Naik dan Harmoni"
Post a Comment