Fakta Terorisme Adalah Kisah Nyata Tragedi Kemanusiaan
“Terorisme
menerjang hingga yang tersisa dari kemanusian hanyalah seonggok debu”
Analisa: Terorisnya ribet amat ya. Kalau mau nyasar Polisi, ngapain ke Masjid. Bukannya tiap pagi banyak Polantas berseragam di jalan? Di atas adalah kutipan cuitan seseorang (1 Juli 2017) mengomentari berita dari liputan6.com berjudul ‘Serangan terhadap 2 polisi di Masjid Falatehan, Kebayoran Baru’ tertanggal 1 Juli 2017. Dibaca sekilas, kata kata dia sekadar mempertanyakan kebenaran atau fakta terorisme (apakah sekadar imaginasi atau kisah nyata) dan mungkin hendak mengkritik pola kerja polisi yang dirasa kurang pas. Sampai di sini, semuanya baik dan sah belaka.
Akan tetapi, bagi aspiran aksi teror, cuitan bisa dibaca bahwa terkesan ada (terselip) pesan bagaimana mengintensifkan aksi terorisme yaitu dengan menyasar 'easy target' (target gampang) para polantas di jalanan (bukan di kantor polisi). Perhatikan pula penambahan kata 'berseragam', sesuatu yang dalam bahasa terkesan redundant (berlebihan) karena kata kata dalam frasa 'setiap pagi banyak polantas di jalanan' sudah mengatakan objek yang dimaksud dengan jelas. Bahkan kata polantas saja sudah lebih dari cukup.
"Setiap pagi banyak polantas berseragam di jalanan", bagi aspiran aksi teror, bisa diasumsikan atau dibayangkan (sebagai upaya tak sengaja) merepresentasikan konkretisasi atau spesifikasi objek dari isi pesan dan membuat sebuah tindakan -bila diinginkan- menjadi 'clear and precise' (jelas dan tertarget).
Dalam hal ini, penting pula cek track record sebagai bahan perbandingan.
Cuitan di atas mengandung kontradiksi. Di satu sisi, ia mempertanyakan kebenaran aksi terorisme dan melunturkan fakta-fakta nyata bahwa telah terjadi berbagai serangkaian serangan teror khususnya terhadap polisi di negeri ini. Terorisme seakan digambarkan secara tidak langsung sebagai rekayasa canggih, mungkin demi tujuan politis atau stigmatisasi umat Islam. Di sisi lain, cara pertanyaan disusun seakan menyiratkan sebuah sandi atau pesan terselubung meskipun tidak dimaksudkan oleh pencuit.
(Baca juga: Menyemai Terorisme)
Bagaimanapun itu, fakta terorisme adalah kisah nyata tragedi kemanusiaan, bukan isapan jempol.
Terorisme merobek-robek kehidupan bersama dan menghancurkan bukan hanya ekonomi dan struktur sosial-politik namun terlebih satu generasi manusia-manusia nyata. Barusan saya mengirim surat elektronik (email) minta maaf pada sahabat di Filipina karena sejumlah kriminal Indonesia, yang atas nama membela agama, ambil bagian dalam konflik dan pendudukan teroris di Marawi.
Terhitung sejak tanggal 30 Oktober 2017, Presiden Filipina, Duterte yang terkenal galak tersebut, mendeklarasikan bahwa akhirnya Marawi telah dibebaskan dari cengkraman para teroris dan petualang radikalis lainnya. Setelah 5 bulan yang melelahkan, tentara nasional Filipina akhirnya berhasil merebut kembali Kota Marawi dari tangan ISIS.
Apa yang tersisa dari peperangan yang dimotori sekelompok orang yang menafsirkan Islam secara ekstrim ini?
1000 orang tewas, ratusan ribu pengungsi, peluru melubangi tubuh anak-anak dan perempuan yang direkrut teroris untuk menjadi tentara, asap dan puing-puing, kehidupan bernanah, luka-luka mendalam, kebencian, kemuliaan Islam dikotori. Begitulah hasil pendudukan brutal para teroris di Marawi.
Haruskah seorang bayi terbunuh?
|
Kota Marawi tadinya sebuah kota yang indah dan damai, demikian digambarkan teman saya orang Filipina tadi. Hatinya tercabik melihat kota yang berantakan serta dipenuhi bau menyengat mesiu dan mayat. Dia punya sejumlah sahabat di sana, baik Kristen maupun Muslim, dan betapa pedih ia harus menyaksikan kesengsaraan mereka.
Ada satu kata yang dipakai teman saya ketika membalas email saya, kata yang membuat saya sungguh terdiam: flattened (diratakan). Tentara Nasional Filipina terpaksa harus meluluhlantakkan seisi Kota Marawi karena para teroris bersembunyi di rumah-rumah penduduk. Setelah evakuasi penduduk sipil, tentara melancarkan serangkaian pengeboman yang membuat kota seakan tanah rata yang gersang dengan kepulan-kepulan asap pekat membumbung.
Bagi teman saya, bukan hanya kota yang rata dengan tanah, hatinya juga rata dalam ratap.
Jelang kekalahannya, para teroris tega menggunakan perempuan dan anak-anak untuk melakukan aksi-aksi bom bunuh diri. Seorang tentara yang diwawancarai menggambarkan getir perasaannya harus menempur dan melepaskan peluru pada orang-orang tidak berdosa ini (non-combatant). Kehancuran kota bisa dibangun kembali, kehancuran martabat manusia membutuhkan waktu yang jauh lebih panjang untuk dipulihkan. Dan barangkali, tidak bakal pulih sepenuhnya dan menyisakan trauma berkepanjangan, dendam dan duka tiada berujung.
Saya terpaku membaca kata kata dalam email teman saya. Sungguh mengerikan akibat kebrutalan perang yang absurd ini. Mengapa manusia begitu sanggup menggadaikan naluri kemanusiaan demi menggenggam erat-erat kepercayaan buta pada hasutan-hasutan yang mengerikan? Mengapa manusia lebih memilih menciptakan tragedi kemanusiaan dan bukan cinta? Ke mana kapasitas manusia yang paling hakiki, kapasitas mengasihi sesama, kapasitas bersikap bijak dalam menilai sebuah kebenaran?
(Baca juga: Sholat dan Iqra Kata Kata)
Saya kerap mendapati orang-orang yang dengan gigih mengingkari fakta-fakta terorisme. Mereka lupa kalau aksi terorisme bukan tahun-tahun belakangan ini saja namun telah setua peradaban dan khususnya telah mengambil bentuk-bentuk sangat mengerikan di abad ini. Berbagai hal memainkan peranan baik secara ekonomi, budaya dan politik. Akan tetapi, harus diakui bahwa berbagi faktor religius khususnya yang terkait dengan fundamentalisme agama merupakan motif paling kuat yang kerap ditemukan dewasa ini termasuk di Indonesia.
Ada satu kata yang dipakai teman saya ketika membalas email saya, kata yang membuat saya sungguh terdiam: flattened (diratakan). Tentara Nasional Filipina terpaksa harus meluluhlantakkan seisi Kota Marawi karena para teroris bersembunyi di rumah-rumah penduduk. Setelah evakuasi penduduk sipil, tentara melancarkan serangkaian pengeboman yang membuat kota seakan tanah rata yang gersang dengan kepulan-kepulan asap pekat membumbung.
Bagi teman saya, bukan hanya kota yang rata dengan tanah, hatinya juga rata dalam ratap.
Jelang kekalahannya, para teroris tega menggunakan perempuan dan anak-anak untuk melakukan aksi-aksi bom bunuh diri. Seorang tentara yang diwawancarai menggambarkan getir perasaannya harus menempur dan melepaskan peluru pada orang-orang tidak berdosa ini (non-combatant). Kehancuran kota bisa dibangun kembali, kehancuran martabat manusia membutuhkan waktu yang jauh lebih panjang untuk dipulihkan. Dan barangkali, tidak bakal pulih sepenuhnya dan menyisakan trauma berkepanjangan, dendam dan duka tiada berujung.
Saya terpaku membaca kata kata dalam email teman saya. Sungguh mengerikan akibat kebrutalan perang yang absurd ini. Mengapa manusia begitu sanggup menggadaikan naluri kemanusiaan demi menggenggam erat-erat kepercayaan buta pada hasutan-hasutan yang mengerikan? Mengapa manusia lebih memilih menciptakan tragedi kemanusiaan dan bukan cinta? Ke mana kapasitas manusia yang paling hakiki, kapasitas mengasihi sesama, kapasitas bersikap bijak dalam menilai sebuah kebenaran?
(Baca juga: Sholat dan Iqra Kata Kata)
Saya kerap mendapati orang-orang yang dengan gigih mengingkari fakta-fakta terorisme. Mereka lupa kalau aksi terorisme bukan tahun-tahun belakangan ini saja namun telah setua peradaban dan khususnya telah mengambil bentuk-bentuk sangat mengerikan di abad ini. Berbagai hal memainkan peranan baik secara ekonomi, budaya dan politik. Akan tetapi, harus diakui bahwa berbagi faktor religius khususnya yang terkait dengan fundamentalisme agama merupakan motif paling kuat yang kerap ditemukan dewasa ini termasuk di Indonesia.
(Baca juga: Teror Media, Teror Dinding dan Gambar Traumatik)
Sekali lagi, terorisme adalah fakta brutal ketika nafsu membunuh menerjang kalap sampai yang tersisa dari kemanusiaan hanyalah seonggok debu. Dalam bahasa lain, bisa dikatakan bahwa terorisme bagai kisah nyata ‘alam kubur’ ketika siksa, penderitaan, geram dan ratap tangis mengisi hari-hari para korban, tentara bahkan para teroris.
Ketika anda berpartisipasi dalam radikalisasi pikiran dan tindakan atau diam menontonnya, 5 hal menanti anda, keluarga dan sahabat anda: "mayat-reruntuhan-luka-malu-dendam". Jutaan kata cinta, kata bijak, kata mutiara kehidupan, tiga hal ini terpenggal dan musnah dalam kobaran api amarah!
(Baca juga: Ketika Generasi Muda Disodori Komunisme: Religiusme Maksimal, Substansi Minimal)
Stop menyangkali bahwa fakta terorisme adalah bukan kisah nyata tragedi kemanusiaan. Mulailah MELAWAN!
Jual Tenun & Batik Rose'S Papua
0 Response to "Fakta Terorisme Adalah Kisah Nyata Tragedi Kemanusiaan"
Post a Comment