Keponakanku Muslim, Saya Kristen

Dinah tetap Muslim, kami tetap Kristen

Waktu azan mahgrib kedengaran dari televisi, kota Merauke, Papua, sedang menjemput senja. Kupandang sisa semburat cahaya di lengkungan kubah langit. Angin sedikit menggigilkan badan, saya bergegas masuk ke dalam rumah.

Kulihat seorang anak berdiri agak takut-takut. Kupecahkan kekikukan dengan senyum dan sapa dia. Hatiku bertanya-tanya mengapa dia berada dalam dapur keluarga kami.

Kakak saya mengenalkan anak perempuan yang bertubuh mungil ini. Rambutnya menghitam bagus di wajah berbentuk lonjong. Suaranya agak lirih. Berdirinya seakan kapal limbung diterpa gelombang.

Dia anak SMP kelas 1 dan terhitung pendiam waktu masuk ke dalam keluarga besar. Tetapi kebaikan tidak berdusta. Saya tahu kalau yang berdiri di hadapanku adalah anak baik dan patut dipercaya. Belum genap seminggu, dia telah merebut perhatian kami semua. Anaknya rajin, tutur katanya santun. Dia orang Jawa, Muslim, dan menjadi bagian keluarga sebagai anak asuh.

Dia bukan orang pertama yang menjadi anak asuh keluarga besar kami. Sebelumnya sudah ada belasan, sebagian sudah menikah dan bekerja. Sebagian besar adalah Jawa dan Muslim. (baca juga: Kata Yoga Merauke Kemesraan Kristen dan Islam)

Dalam tradisi keluarga, seorang anak asuh adalah sebenar-benarnya anak kandung. Artinya, dia tidak berbeda dari anak kakak saya yang mengadopsinya. Kami tidak membedakan perhatian, cinta dan sokongan. Dia adalah anak kandung dan dengan begitu, keponakan kandung seperti halnya saya terhadap abangnya tersebut. 

Beberapa bulan awal, anak perempuan kami ini harus belajar menyesuaikan diri dengan sekolahnya. Semula dari daerah pelosok, ia harus memasuki lingkungan baru yang menantang. Akan tetapi, rupanya tidak banyak hambatan berarti. Atau lebih tepatnya, tekad bulatnya untuk menjadikan dirinya lebih baik telah menuntun langkah-langkahnya.

Di luar dugaan para guru, ia menyabet keunggulan di sekolah. Dia langsung juara kelas dan dikenal sebagai murid yang kritis. Laporan wali kelas mengatakan kalau ia banyak bertanya dan tidak canggung untuk bergaul. Dalam kegiatan ekstrakkurikuler, dia ambil bagian secara aktif. Dia suka latihan Pramuka dan semangat bila berkemah.
kata kata bijak, kata kata mutiara, kata kata cinta, kisah nyata
Saat kami berjumpa di Jakarta
Tidak perlu diherankan bila kemudian dia mendapat beasiswa di SMA Yohanes XXIII, sebuah sekolah Katolik yang merupakan SMA tertua di kota Merauke, Papua.

Bulan barokah begini, dia ikut berpuasa. Sejauh yang saya ingat, dia tidak pernah absen kecuali memang berhalangan. Meja makan kami berubah lebih spesial karena tersaji kolak, dawet, aneka panganan di samping makanan utama. Dia yang puasa, dia yang menahan lapar dan haus, kami berpartisipasi berbuka bersama.

Saya ingat bagaimana mama atau kakak saya menyiapkan hidangan berbuka dan sahur bagi dia dan anak-anak asuh lainnya. Seringkali kami buka bersama di rumah orangtua kami. Bulan barokah sungguh, termasuk buat badan yang ikut-ikutan ketiban rejeki aka naik beratnya dengan sukses.  

Seminggu sebelum datangnya lebaran, dia pulang ke rumah orang tua bersama anak asuh lainnya yang berasal dari kampung yang sama. Manakala lebaran tiba, berbondong-bondong kami dolan ke sana, silaturahmi antar keluarga. Sukacita menggayut seisi rumah, kami akan duduk mengobrol sampai kata-kata terlontar habis. 

Sesungguhnya tradisi silaturahmi berlaku timbal-balik. Natal tiba, giliran keluarga kami yang dikunjungi serombongan keluarganya. Tidak tanggung-tanggung, biasanya sampai dua angkot sekali datang. Di Merauke, Papua, saling menjambangi adalah tradisi yang dihidupi masyarakat dari tahun demi tahun. (baca juga: Merauke Gudangnya Cinta dan Kewarasan)

Dinah, boru (putri) Sianturi terkasih kami, sudah dewasa sekarang dan sedang menempuh kuliah di jurusan tehnik sipil. Ia juga mendapat bantuan beasiswa dari kampusnya. Seperti tahun-tahun di sekolah, dia dikenal sebagai mahasiswi yang pandai bergaul dan suka bertanya. Sungguh luar biasa melihat perubahan dirinya seakan keajaiban dalam kisah nyata.

Tekad, kasih, memang tidak berdusta.

Setahun lalu, waktu kami bertemu di Jakarta seperti dalam foto ini, dia bukan anak SMP kelas 1 yang pendiam lagi. Ia telah menjadi perempuan cantik yang cerdas dan kuat pendiriannya. Kata-kata yang meluncur dari bibirnya tidak kikuk seperti dulu. Dia kebanggaan keluarga kami.

Dinah tetap Muslim, kami tetap Kristen.

Selamat berpuasa, bere (keponakan).





Pemesanan:

082-135-424-879/LINE
5983-F7-D3/BB
Inbox Rudy Ronald Sianturi 

Subscribe to receive free email updates:

2 Responses to "Keponakanku Muslim, Saya Kristen"

  1. Semoga di Indonesia kita tercinta keharmonisan seperti itu tetap terjaga ya. Salam kenal

    ReplyDelete
  2. Makasih ya, senang sekali mendengarnya, inilah harapan kita bersama, nggih. Salam kenal ya.

    ReplyDelete