Menyemai Terorisme

Apakah kapasitas mengkognisi realitas telah kacau dicemari fantasi kekerasan?

Sebenarnya kita hidup dalam dunia imaginasi atau kisah nyata? Manusia modern seakan dipaksa berdamai dengan dua jenis dunia: digital dan nyata. Tidak lagi berbatas dengan tegas. Keduanya terkadang brutal berbenturan – atau dibenturkan.

Film Grasshopper


Dari balik kacanya, kerumunan pejalan kaki tampak menyemut di kedua sisi jalan. Matanya memicing menembus kerlap-kerlip kota malam. Sayup-sayup dentuman musik kedengaran di telinganya. Kota bersolek genit, lampu-lampu berdisko. Sepi menggelisahkan hatinya, kota diriuhkan klakson. Dia tahu orang-orang sedang menunggu tanda penyeberangan – seperti juga dirinya.

Di dalam mobilnya, ia menghalau ketegangan sampai matanya berair. Teringat kata kata itu lagi, “Mereka gerombolan belalang, sekerumunan hama – tidak lebih. Mereka bersenang-senang di dunia ini, berfoya-foya seperti tiada hari esok, rakus dan egois. Mereka menghabiskan jatah orang-orang yang setiap hari harus bekerja keras seperti dirimu.”

Ia memperbaiki duduknya, hatinya lebih mantap. Sekali lagi ia menginjak-injak pedal gas, alat yang akan menuntaskan sebuah misi pembasmian malam ini. Perlahan ia menjalankan mobilnya, matanya tidak lepas dari lampu jalan.

Ia dijepit waktu, hanya itu yang ia punya. Waktunya diantara hijau dan merah berikutnya. Singkat tetapi cukup untuk mengeksekusi sebanyak mungkin.

Malam ditenggelamkan dalam selfie, jingkrakan dan kata obrolan. Ribuan orang sedang merayakan Halloween di pusat pertokoan yang sarat simbol kapitalisme sekelas Pepsi dan Boss. Rambu akan menghijau, orang-orang bersiap ke seberang dengan riang. Mobilnya akan bergerak lebih cepat, ia mencari akselerasi.

Teleponnya berdering, seseorang di ujung sana menghubunginya tepat rambu jalan berubah hijau. “Hancurkan semua serangga yang melompat keluar. Kamu adalah penyelamat.”

Suasana mendadak riuh. Rambu hijau telah menyilahkan. Orang-orang yang sebagian memakai topeng dan wig warna-warni, berpapasan, saling menabrak dan berhimpit-himpitan. Mereka ke seberang tanpa sadar hendak dicegat. Ia menekan pedal gas dengan keganasan tidak lumrah manusia. Bak samurai, berteriak histeris. Mobil melaju deras, lurus menyibak ratusan manusia yang bergegas-gegas.

Orang-orang menjerit, mereka seperti belalang kejepit. Sebagian terlontar dihajar bumber tronton dengan bengis. Belasan dilindas, ngilu terdengar gemeretak tulang-tulang berpatahan. Badan-badan bertubrukan dalam kepanikan. Mobil meliuk kencang menghantam puluhan orang dengan hempasan badannya. Tiada ampun tersisa buat gerombolan hama. Pesta-pora mereka dibayar jerit, luka dan kematian – lunas!

Saya terpaku, terhenyak, di depan layar laptop. Grashopper, sebuah film online yang memualkan! Bengis tak terkira imaginasi pembasmian brutal ini. Bukan pembunuhan, ini pemusnahan. (baca juga: Teror Media, Teror Dinding dan Gambar Traumatik)

Film Grasshopper (Tomoyuki Takimoto, 2015) mengisahkan seseorang yang dijebak untuk menabrakkan mobilnya ke kerumunan pejalan kaki. Supaya tega melakukan aksinya, pelaku dipersuasi para perancang serangan untuk membayangkan orang-orang bagai kerumunan belalang (grasshopper) yang layak diburu, dilindas, diremukkan.

Gerombolan belalang rakus dan egois. Kata kata ini diulang-ulang seperti mantra.


Terorisme Global Gaya Baru


Dua minggu kemudian, sebuah truk tronton benar-benar menabrak kerumunan pejalan kaki yang sedang merayakan Bastile Day di Paris. Saya terhenyak menatap layar HP, benar-benar tidak percaya. Saya cari berita sejenis di berbagai koran online luar negeri. Bukan isapan jempol, kisah nyata!

Darah berdesir kencang saat muncul berita teror Paris. Imaginasi digital dan kenyataan tumpang-tindih. Sungguh tidak habis pikir, bagaimana mungkin? Sulit menalarnya bahwa rekaan dalam film online mewujud di dunia nyata.

Apakah kita sebenarnya sedang menyemai terorisme?

Sekitar 20 tahun lalu, seorang redaktur Kompas meminta saya menerjemahkan buku tentang sejarah terorisme internasional. Awalnya, terorisme secara langsung menebar rasa takut pada orang yang terkait dengan suatu kasus. Bila ia seorang pejabat kepolisian, kelompok teror akan mengeluarkan ancaman pada yang bersangkutan.

Dalam perkembangannya, aksi teror mengalami intensifikasi. Mereka tidak lagi secara langsung mengancam keselamatan polisi tersebut namun menargetkan orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan kasus (innocent people). Mereka menculik anggota keluarga polisi tersebut dan menekannya melepaskan seseorang di penjara. Sebuah pertukaran yang brutal.

Terorisme dilawan dengan keras. Penjagaan terhadap pejabat polisi dan keluarganya diperketat.

Kelompok teror pun melakukan improvisasi. Mereka mengalihkan perhatian pada hubungan internasional antar bangsa-bangsa. Apabila hendak memaksa pemerintah lokal melepaskan temannya dari penjara, mereka akan melakukan aksi terorisme di negara lain yang memiliki hubungan diplomatik dengan pemerintahnya. Ketakutan yang tercipta akan memaksa negara yang menjadi lokasi teror melakukan tekanan masif terhadap negara yang menahan orang yang hendak  dibebaskan.
kata bijak mutiara cintamu
"Hopper the Grasshopper Statue" di California Adventure, Anaheim
Terorisme mengalami kompleksitas, ia melampaui batas-batas teritorial. Dunia tersentak dengan kelahiran terorisme internasional dalam skala yang mencengangkan.

Di puncaknya, aksi terorisme tidak pilih-pilih lagi. Setiap orang termasuk fasilitas dan sistem sosial-politik, dianggap sebagai alat untuk mencapai tujuan (expendable). Semakin innocent seseorang, semakin efektif ketakutan yang mereka sebar. Tebang pilih dicoret dari kamus terorisme. Aksi-aksi teror menargetkan siapa saja asalkan tujuan mereka tercapai.

Inti terorisme adalah penciptaan ketakutan secara masif dan massal. Ketakutan yang menyebar seperti udara bertiup ini akan membuat masyarakat melancarkan berbagai tekanan pada pemerintah untuk memenuhi berbagai tuntutan kelompok teror. Maka terorisme terjadi harus di tempat-tempat keramaian atau kerumunan – acak dan tak terduga.

Pembunuhan harus menyerupai pembasmian, tanpa ampun dan tanpa belas kasih.

Di tahun 90-an, terorisme mewabah dan menjadi ancaman global. Tidak seorang pun bisa menduganya. Sebuah perkara bisa terjadi di Timur-Tengah, namun orang-orang yang dikorbankan, gerombolan belalang hama, berada jauh dari lokasi – misalnya, di Indonesia. Atas nama solidaritas, puluhan bahkan ratusan orang dianggap pantas dimusnahkan.

Saya tersentak begitu koran-koran online melaporkan serangan teror London Bridge. Sebuah mobil yang di dalamnya ada tiga orang, melindas masyarakat London yang sedang berada di atas jembatan. Bahkan tiga pelakunya turun dari mobil hanya untuk menikam dan menendang secara random.

Dalam waktu yang berdekatan, muncul serangan teror yang mengkopi serangan sebelumnya. Paris dan London hanya sepelemparan jauhnya. Pola serangan mobil yang relatif mudah dilakukan ini sangat mungkin memawah di seluruh Eropa.

Dua serangan ini tidak terbayangkan oleh penulis buku yang saya terjemahkan di atas. Dunia sedang menyaksikan kelahiran genre baru dari tindakan-tindakan teroristik.


Siapakah Kita Dalam Proyek Terorisme?


Ijinkan saya mengulangi kata kata yang sangat mendesak dipertanyakan ini. Sebenarnya kita hidup dalam dunia imaginasi atau kisah nyata? Ataukah kapasitas mengkognisi realitas telah kacau dicemari fantasi kekerasan?

Dalam konteks mata rantai terorisme, apakah kita masih sanggup membedakan antara dunia, kisah nyata dan fiksi digital? Di manakah manusia modern sekarang berjejak kaki?

Merenungkan serangan teror di Indonesia, bom bunuh diri Thamrin hingga Kampung Melayu, saya tidak bisa tidak harus bertanya dengan sungguh-sungguh. Apakah kita secara kolektif sedang memproyeksikan brutalitas dan kebengisan di benak kita ke dalam dunia digital, khususnya lewat media sosial – secara masif dan massal? Dan akhirnya, energi buruk yang mengumpal harus meledakkan diri dalam kekerasan demi kekerasan seperti yang kita saksikan belakangan ini di tanah air?

Apakah kita sebenarnya sedang menyemai terorisme yang akan menghancurkan diri kita sendiri?

Saya ingin memberi perhatian ekstra pada berbagai ujaran kebencian, kampanye pengkafiran, demonisasi masif dan politisasi agama yang berlangsung begitu telanjang di ruang-ruang publik dan menyeret banyak orang ke dalam polemik penuh makian, intimidasi, ancaman kekerasan, persekusi bahkan ajakan pembunuhan. Bukankah banyak orang -setiap hari- ibarat menonton dan menciptakan sejenis film Grasshopper yang memfantasikan manusia-manusia nyata itu: babi, anjing, taiker, kafir, PKI?

Terorisme mengakar dalam radikalisasi pikiran, bahasa dan perilaku. Fenomena Grasshopper membutuhkan pematangan sebelum eksekusi. Benak publik dikondisikan agar sesak dengan hasutan-hasutan radikal. (baca juga: Bahasa Indonesia, Riwayatmu Kini)

Kian lama film kian (berasa) nyata. Soal waktu saja sebelum segelintir orang akan merealisasikannya. Maka bersikap netral atau mendiamkan, bukankah memberi jalan bagi perekrutan calon-calon teroris oleh para perancang terorisme?

Terorisme tidak mengenal cinta, tiada gunanya mempertanyakan cinta pada teroris. Tindakan dia dimotivasi secara ideologis. Tujuan menghalalkan cara, begitu ia merumuskan kekerasan. Sebagaimana Grasshopper, manusia sekadar serangga, belalang, yang layak diburu, dilindas, diremukkan.

Dan ironi begitu kejam mencela.

Banyak orang menolak kekerasan namun rajin mengunggah kekerasan dalam akunnya. Banyak orang mengklaim sebagai orang beragama yang cinta damai namun -ganas dan tanpa sungkan-sungkan- menista siapa saja yang tidak seagama dengannya, atau menista yang seagama dengannya sebab menolak sependapat. (baca juga: Galeri Foto Paling Menakutkan)

Bagaimana mungkin mengklaim cinta apabila cinta telah dienyahkan?

Ketika terjadi serangan teror mematikan, mereka yang paling pertama menolaknya bahkan mengingkarinya. Mereka ibarat menghidupi dua dunia secara tidak rapi. Imaginasi dan kisah nyata campur-baur, bertumbukan dan chaotic.

Sebagaimana adagium bahwa semakin innocent semakin expendable dalam serangan teror, dalam proyek terorisme, semakin innocent dan expendable seseorang semakin ditarget sebagai corong terorisme. Benar-benar brutal!

Negara, media, getol bicara deradikalisasi. Mengawalinya harus dari sini.

Tenun Rose's Papua


Pemesanan:

082-135-424-879/LINE
5983-F7-D3/BB
Inbox Rudy Ronald Sianturi 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Menyemai Terorisme"

Post a Comment