Teror Media, Teror Dinding dan Gambar Traumatik

Teror bom Kampung Melayu, ledakan dalam toilet terminal, masihkah sebuah berita (tentang) terror atau sampah digital?

Dalam sekejap, linimasa berceceran potongan kaki, usus terburai, genangan darah dan onggokan wajah terpenggal seperti maniken tercampak. Televisi melaporkan langsung dari tempat kejadian, rekaman amatir menggunung di berbagai kanal sosial, dinding-dinding perorangan mengekspresikan kengerian sambil mengumpat dan mencaci. 

Kampung Melayu, Jakarta, dilumatkan bom bunuh diri. Teror media!

Psikoanalisis dan studi sinema, dua bidang keilmuan yang saya tekuni, akan menyebutnya  siklus gambar traumatik. Dalam proses terapi, gambar traumatik sifatnya personal, hanya relevan bagi yang bersangkutan. Peristiwa semalam sebaliknya telah mengubah asap, reruntuhan dan mayat ‘terlalu relevan’, overloaded, bagi banyak orang. Teror dinding!

Berita Teror atau Sampah Digital

Menurut pengalaman saya dengan klien, sifat dasar trauma adalah repetisi (mengulang-ulang) dan fantasi (membayang-bayangkan) – sebuah dorongan untuk mengatasi kegelisahan yang mencekik memori, perasaan dan pikirannya. 
 
Ada cara efektif untuk membantu klien traumatik yaitu dengan memfasilitasi proses bertanya-tanya.
Teror bom Kampung Melayu, ledakan dalam toilet terminal, masihkah sebuah berita (tentang) terror atau sampah digital? 

Pikirkan kembali bagaimana kebanyakan orang secara obsesif mengonstruksi (merangkai) kengerian dengan mendistribusikan gambar-gambar menakutkan ke ruang publik. Tidak sampai sehari telah terbentuk jaring-jaring ketakutan kolektif oleh repetisi, perulangan, yang memaksakan aspek kengerian ke dalam benak warga oleh sesama warga. 

Pengolahan informasi secara rasional, berjarak dan eksploratif sama sekali tidak menjadi basis pemberitaan. Kata-kata kehilangan hakekat, bicaranya gambar buat pekak. Pokoknya kisah nyata itu bernama teror! Harapan musnah -katanya. (baca juga: Kotak Pandora, Sastra dan Politik Harapan)

Ledakan bom Kampung Melayu, sebagai peristiwa yang patut diberitakan, tampaknya (meskipun tidak sengaja) direduksi sebatas reportase ala breaking news baik media maupun self-published media alias dinding. Perhatikan bagaimana toilet dan darah dimagnifikasi. Daya cerna dan resistensi terhadap materi media seakan memang dilumpuhkan. Setiap orang diajak untuk patuh pada ketakutan dan kengeriannya.

Terorisme digeret masuk ke dalam ruang-ruang privat - dengan sadar serta sukarela. Dan keuntungan seminggu provider telepon ditangguk dalam hitungan menit.

Aksi teror Kampung Melayu per hari ini, konsekuensinya, adalah berita basi, sampah digital – tidak lebih. Media begitu fokus memberi publik update dari tempat kejadian perkara. Sepintas profesional dan semestinya, tetapi sesungguhnya sepotong demi sepotong kengerian yang menggelembungkan insting, mengempeskan akal sehat. Dan setiap dinding yang ‘mengotori oksigen medsos’ dengan gambar-gambar traumatik dari media menjadi kaki-tangannya.

Insting dan Terorisme

Terorisme bermain di wilayah insting manusia. Bahkan sebenarnya, mempermainkannya.

Evolusi mewariskan dua naluri dasariah kepada manusia yang sangat penting untuk bertahan hidup. Ketika bahaya mendatangi, ketika organisme merasakan adanya bahaya, ia terjerembab di simpang pilihan. Reaksi paling purba adalah menyerang sebrutal mungkin atau lari sekencang mungkin. Satu-satunya tujuan adalah untuk bertahan hidup.

Terorisme merepresentasikan upaya menciptakan ketakutan masif dengan mengeksploitasi hal-hal paling menyakitkan bahkan menakutkan bagi manusia: kehancuran, luka dan kematian. Supaya terjadi masifikasi ketakutan, kerusakan harus maksimal, menyasar kerumunan, pembasmian massal, tak terduga, tak terkatakan. Yang hendak ditimbulkan adalah sikap reaktif-instingtual seperti shocked, ngeri, marah dan marah. (baca juga: Seven Samurai Islam)

Dalam perspektif ini, anggapan bahwa terorisme adalah tindakan bodoh sangat patut dicela. Terorisme mengandaikan logistik, perencanaan dan eksekusi. Karena sasarannya insting primitif manusia, rasio harus diasingkan, diperlukan seorang ahli strategi guna analisis, koordinasi dan sinkronisasi.

Teror bom Kampung Melayu bukanlah proyek ecek-ecek dan berhasil ‘memaksa’ masyarakat membonsai akal sehatnya sembari ‘membantu’ menebar ketakutan.
kata kata bijak,kata kata mutiara, kata kata cinta, kisah nyata
Teror harusnya mengingatkan 'pesan' dia yang telah setia berjaga
Sesedihnya melihat kematian seseorang tidak akan menimbulkan kecemasan seluas Indonesia. Teror sebaliknya bekerja dengan memanfaatkan contoh. Otak manusia yang akan membuat generalisasinya – dimediasi media! Maka teror terjadi bukan ketika bom melumatkan toilet di Terminal Kampung Melayu. Ia terjadi bukan ketika bom mengoyak tubuh-tubuh manusia. Ia terjadi sesudahnya.

Sesudahnya ledakan, audiens dipapar gambar-gambar traumatik secara bertubi-tubi. Media ‘memanipulasi’ rasa ingin tahu masyarakat tentang kepala siapa yang menggelinding, seberapa melotot matanya, siapa yang gugur (bahasa media: tewas), berapa tangan dan kaki diputus, berapa tersisa serpihan daging hangus dan tulang berantakan. 

Rasanya seperti berpantun. Berita adalah sampiran, gambar traumatik adalah isi - dibalik. Media memang menyeru ‘kita tidak takut’, sebuah kegenitan yang kabur substansi, justru mendalamkan abstraksi kengerian. Pola ini direpetisi dinding-dinding perorangan.

Timbul kegamangan secara kolektif sebagaimana terekam dalam banyak status bahkan ‘doa dinding’. Frustasi berlipat apalagi penanganan lebih menyerupai kontes retorika antara polisi, intelijen, politisi dan agamawan. Sudut pemberitaan condong pada sensasionalisasi tubuh terpotong-potong. Masyarakat menenggelamkan diri dalam kemarahan, ledakan emosi berlomba dengan ledakan bom. 

Khalayak Mengonstruksi Kengerian

Saya mendefinisikan teror sebagai traumatizing image in motion (gambar bergerak yang mentraumatisasi). Itulah target bom bunuh diri yang ironisnya biasanya tidak dipahami pelaku namun pastinya, direncanakan perekrut dan ideolog-nya. Entah perasaannya bila sadar bahwa dia sekadar alat teror, the expendable body -tidak lebih- dari gambar-gambar traumatik, sebuah obyek tatapan dan pelampiasan emosi massa.

Maka terorisme an sich adalah jejaring khalayak yang secara obsesif mengonstruksi kengerian dari serangkaian gambar traumatik yang diproduksi media tanpa pendalaman investigatif dalam rangka menenun fakta, sejarah, narasi perlawanan dan simpati kolektif, dan paling parah, bila semata demi memuaskan ketakutan (publik) demi bisnis.

Dalam seminggu dua ke depan, terorisme akan mendominasi media dan dinding-dinding perorangan. Setelahnya surut seakan banjir bandang yang tak sempat menggulung.  Senyap dan mati.

Begitulah cara hidup kejiwaan traumatik. Ia terobsesi dengan peristiwa yang menimpanya, marah dan sedih dan kecewa, namun rajin mengulang-ulang fantasinya. Hingga beradaptasi dengan perasaan dan pikirannya, terekam di benak yang kabur. Selanjutnya, kembali hidup ‘normal’. 

Sewaktu-waktu, manakala sesuatu mengingatkan dia tentang trauma -dalam beragam cara- meskipun dia sukar mengakses ingatan tersebut secara utuh dan bermakna. Ia bersikap reaktif. Naluri serang atau lari mendominasi. Akal sehat ditelikung, bertahan hidup menjadi satu-satunya yang memotivasi perilakunya.

Ketika publik sibuk bertikai secara cyber, para konseptor-ideolog terorisme dan pengusung agenda rebut kekuasaan terus bergerilya membangun jaringan sel-sel radikal dan melancarkan ideologisasi –secara terbuka atau diam-diam- di pemerintahan, parlemen, tentara, polisi, partai politik, ormas, media, jaringan bisnis online, kelompok-kelompok arisan, lewat dakwah televisi, radio, majalah dan selebaran, di kampus-kampus, sekolah-sekolah, jaringan sekolah berasrama, berbagai kelompok eksklusif, BUMN, konglomerasi, di sekujur arteri Indonesia. 

Suatu hari, mungkin dalam umur kita, bukan hanya bom yang meledak, bukan hanya gambar traumatik yang dibagikan dengan menggila. Pancasila terjungkal, pegangan hidup tidak jelas dan penyesalan basi.

Khalayak terjerembab di simpang pilihan: lari sekencang-kencangnya atau menyerang sebuas-buasnya. Sebuah optimalisasi insting, ledakan naluri purba. Mengencingi cinta, kasih dan harapan. Perang sektarian.

Masifikasi teror media dan teror dinding seperti menggantang bangkai sambil tutup hidung. Bila kurang cerdas bersikap, kelak namanya bukan Ambon atau Poso. Sebut saja, se-Indonesia.

Saya berharap, sungguh saya berharap, apabila tuturan dan tatanan bergoyang kencang, kita masih ingat bagaimana memobilisasi dan mendayagunakan akal sehat. (baca juga: Sholat dan Iqra Kata Kata)


Pemesanan:
 
082-135-424-879/LINE/SMS
5983-F7-D3/BB
Inbox Rudy Ronald Sianturi

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Teror Media, Teror Dinding dan Gambar Traumatik"

Post a Comment