Sang Ulama
"Agama
tidak steril dari politisasi dan upaya-upaya manipulasi"
Ulama menduduki posisi
sosial istimewa khususnya dalam masyarakat Indonesia yang religius dan terkadang, hiper-religius. Tidak banyak tempat di muka bumi seperti negeri ini yang nyaris memaknai segala sesuatu secara ruhaniah dengan imbuhan atau aura metafisik. Seorang ulama dianggap mampu (atau harus mampu) memberi jawaban termasuk mengenai soal-soal di luar kapasitas keilmuannya. Katak kecemplung kolam saja bisa dipertengkarkan siang dan malam.
Paus Yohanes Paulus II |
Seberapa destruktif pertengkaran bias politik ini bisa ditimbang gamblang dengan menghitung frekuensi berbagai ujaran yang menghina, mengecilkan dan mendiskreditkan keulamaan seseorang atau kelompok lain yang bersileweran di linimasa. Sulit dipercaya namun agama tampaknya sedang terjun bebas ke titik terendahnya sekadar alat politik dan legitimasi dari proses ideologisasi.
Saya tidak sudi mengambil bagian dalam perdebatan sia-sia ini. Sebaliknya, tulisan ini mencerminkan upaya kecil namun sungguh-sungguh dari seorang kawula umat yaitu kehendak menemukan keulamaan dengan membersihkannya dari berbagai anasir politisasi dan opurtunisme seraya mengintuisi kedalaman marwahnya.
Tulisan ini beranjak dari pemikiran bahwa dalam perjalanan sejarah bangsa-bangsa, agama berkelindan dengan nafsu politik praktis dan karenanya ia tidak steril dari politisasi dan upaya-upaya manipulasi. Agama selalu diintai berbagai kepentingan yang tega menggadaikan miliknya terindah -cinta kasih- entah demi kekuasaan politik, ekonomi, media, penafsiran atau pemaknaan, atau kontrol atas tubuh, perasaan serta pikiran.
Dalam ilmu politik berlaku sebuah hukum bahwa kekuasaan cenderung korup dan semakin berkuasa semakin cenderung korup. Maka kekuasaan absolut cenderung bersikap korup secara absolut. Apabila mengkritisi agama dan keulamaan dalam perspektif ini, setiap insani harus menaruh perhatian serius pada adanya kecenderungan agama menjadi korup, otoriter dan menyeleweng oleh karena keistimewaan posisi ulama atau pemaknaan keulamaan.
Ada banyak cara untuk mendeskripsikan keulamaan seseorang. Sebagai bangsa yang sangat tinggi penggunaan sosial media dan warga internet-nya, Indonesia harusnya lebih cerdas untuk menemukan siapa dan apa yang harusnya didengarkan sebagai dasar hidup beriman. Informasi melimpah bahkan melebihi kapasitas kita untuk menampungnya. Minimal umat bergegas menggali rekam jejak seseorang dan kata kata kunci yang biasa ia pakai dan ucapkan dalam rangka mengklaim keulamaannya.
Saya sudah banyak menulis tentang Islam, agama yang sangat saya hormati, apalagi sejumlah orang dalam keluarga besar saya menganut agama Islam. Sudah barang tentu, saya punya kepentingan besar untuk belajar memahami Islam dalam rangka menjalin hubungan yang lebih bermakna dengan saudara-saudari saya. (baca juga: Keponakanku Muslim, Saya Kristen)
Kali ini, saya mau
menuang pemikiran akan keulamaan dengan mengambil contoh dari rahim
agama Kristen Katolik. Cara begini baik dan menarik. Di tengah-tengah perpolitikan kontemporer yang kerap
memakai agama sebagai atribut kebaikan dan keadilan, umat beragama di Indonesia
perlu berkelana lintas batas, memasuki agama-agama lain, untuk menemukan
jejak-jejak terbaik dalam kehidupan umat beragama lainnya. Kita akan belajar bagaimana sesama umat beragama memandang keulamaan dalam rangka menenun gagasan dan
makna keulamaan dalam agama masing-masing.
Dalam perspektif di atas, salah satu ulama yang sebenar-benarnya ulama bisa diintuisi dalam rekam jejak dan kata kata kunci yang biasa dipakai oleh pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia ini.
Bicara 16 bahasa dan
seorang pegiat teater sejak masa mudanya, beliau menggunakan berbagai kata dan
pesonanya untuk menyentuh generasi muda di seluruh dunia. Selama tahun-tahun
berkeliling ke berbagai negara, beliau selalu menyempatkan diri berdialog dan
mendengarkan kegelisahan hati orang-orang muda sebagai penerus bangsa manusia.
Keulamaan merepresentasikan
kesadaran mendalam akan posisi golongan muda yang secara unik akan menentukan
wajah kemanusiaan bersama. Sangat ironis apabila seorang ulama justru
menelikung hasrat-hasrat terdalam anak-anak muda akan dunia, akan kehidupan,
yang lebih baik serta bermartabat, dan mengeksploitasi kegelisahan mereka akan
masa depan yang terasa kabur dengan luapan kebencian penuh amarah serta membengkokkannya demi
agenda politik kekuasaannya.
Seorang ulama mestinya tidak meminta kepatuhan
total namun lebih mendengarkan dan mencontohkan bagaimana mencintai sesama,
berkarya dan bersikap kritis terhadap dunia sekeliling mereka. (baca juga: Buya Maarif: Manusia Emas Agamanya Islam)
Gus Dur dan Paus Yohanes Paulus II di Vatikan |
Tokoh Kristen Katolik
kita ini juga seorang pendaki gunung yang haus petualangan. Di tengah-tengah
menaik jalan setapak terjal, beliau memelihara keheningan batin dan menjalin
komunikasi intim dengan Penciptanya. Alam adalah inspirasi akan keagungan dan
cinta kasih Tuhan yang menginginkan relasi personal dengan setiap insan di muka
bumi, demikian cara seorang ulama menghayati kehadiran Allah yang maha berada.
Keulamaan juga ditandai
keunggulan dalam komunikasi. Cinta kasih Allah adalah inti dari kehidupan iman.
Seorang ulama membangun komunikasi dari caranya melakoni hidup sehari-hari. Umat
akan merasakan seberapa dalam penghayatannya khususnya dalam kata kata kunci
yang melekat dalam ajaran dan perilakunya sehari-hari. Apakah konsisten ataukah
chaotic dan mengandung penghasutan,
kebencian dan amarah?
Ulama di jaman serba
internet mengandaikan kapasitas pemikiran prima dan atau keunggulan tauladan
hidup. Beliau yang kita bicarakan adalah seorang pemikir dan penulis produktif
yang dengan berani merespon berbagai isu, problema kemanusiaan dan peristiwa
politik, dengan suara moral yang jelas, tegas dan jernih. Dua hal yang kerap mewarnai kata katanya
adalah cinta kasih dan pentingnya dialog di setiap lini sosial.
Tanpa mengatakan sudah
sempurna, ulama hendaknya matang secara keilmuan, kokoh dalam prinsip, doa
tiada henti.
Sangat mudah untuk
merasakan keulamaan seseorang. Seperti beliau ini, sorot matanya seramah Dalai
Lama, radiasi energinya sebesar Bunda Teresa atau Abdul Edhi Satar sang Teresa Pakistan, ia tak perlu mengandalkan orasi
cacian, fitnah, logika absurd, nafsu amarah dan kebencian.(baca juga: Kata Mutiara Islam Edhi Pakistan)
Paus Yohanes Paulus II
- namanya. Ia menjalin persahabatan dengan Gus Dur - pemimpin, pemikir, pembaharu, yaitu seorang ulama Islam pengelana lintas iman sekalibernya.
Pemesanan:
0 Response to "Sang Ulama"
Post a Comment