Racun Facebook

“Islam brutal dibajak dan siapapun wajib melucuti motif, irasionalitas dan grand design pembajaknya”

"Sedih mendengar kolega saya tidak bisa masuk ke ruang konferensi di Riau hanya karena tidak memakai jilbab."

Kata kata di atas adalah kutipan status teman saya, seorang dosen di sebuah universitas Yogyakarta. Kami sudah berteman selama puluhan tahun sehingga saya yakin ia tidak berbohong, bukan sekadar hendak menimbulkan polemik atau menebar racun di Facebook. Ini kisah nyata yang ia ketahui langsung dari temannya yang hendak menghadiri sebuah konferensi ilmiah di Riau. 

Teman saya hanya mengekspresikan sebuah keprihatinan mendalam seperti halnya banyak orang lainnya yang menaruh komentar di status Facebook tersebut. Kolega yang ia bicarakan itu seorang keturunan Tionghoa dan orang Katolik. Bisa dibilang ‘double salah’. Tetapi toh masih kalah dengan saya yang pernah ‘triple salah’ ketika seseorang berpenampilan agamis memaki ‘Batak adalah orang Kristen kafir anjing pendukung Jokowi’. Entah bagaimana logikanya, tetapi dengan entengnya ia mengkaitkan etnisitas, tingkat kekafiran dan pilihan politik. 

Rupanya tidak ada pemberitahuan atau pembatasan agama peserta sebelumnya. Lagipula akan terdengar aneh bagaimana sebuah forum ilmiah yang menyoal bahasa Inggris dan dihadiri berbagai pihak dari berbagai universitas Indonesia justru menolak seorang peserta yang sudah mendaftar. Sebuah konferensi ilmiah seharusnya lebih membicarakan atau mengulas materi akademik, bukannya disemprot 'parfum kesalehan' yang potensial menjadi tindakan diskriminatif bahkan rasis.

Inilah pokok utama keprihatinan teman saya di atas. Dan saya yakin, harusnya menjadi kegelisahan setiap orang juga. Bagaimana mungkin mengharapkan setiap peserta apalagi yang adalah seorang Tionghoa Katolik mengenakan jilbab atau tampil sebagai wanita berhijab? Absurd!


Dalam bingkai atau perspektif yang jauh lebih besar, keprihatinan saya adalah menyangkut RUSAKNYA pola berbahasa, berpikir dan bersosialisasi di antara sesama anak-anak bangsa. Coba kita pikirkan sejenak, apakah begitu mengganggu secara religius sehingga jilbab atau wanita berhijab harus menjadi takaran bagi boleh-tidaknya seseorang mengikuti sebuah forum ilmiah? Jelas tidak ada hubungannya sehingga pola pikir panitia, minimal pada hari itu, sifatnya absurd.

Ruang-ruang sosial di Indonesia kerap dijejali kata kata toksik yang saya sebut racun Facebook. Kehidupan kita bersama setiap harinya harus rela menerima paparan kata kata kebencian dan hasutan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Orang merasa marah boleh saja tetapi wajib disampaikan secara argumentatif. Saya ulangi, marah pun harus argumentatif. Kita bukan bangsa preman, ada aturan dan tata krama sosial. Apalagi masyarakat Indonesia paling getol mengaku agamis nan religius.

Sayang sekali, manakala sudah menyangkut kemarahan karena beda pilihan politik atau agama, saya jarang menemukan seseorang mampu menjelaskan mengapa dirinya harus membenci, mengapa dirinya harus menghasut atau mengapa dirinya harus menghina. Dan seperti halnya sifat toksisitas sebuah virus, racun Facebook menyebar dengan enteng tanpa merasa perlu mengklarifikasi konteks ataupun menjustifikasi kemarahannya.

Di sisi lain, orang yang sama mungkin akan mengungkapkan kata kata bijak atau kata kata mutiara bahkan kata kata cinta dalam sejumlah status Facebook-nya. Sebuah kontradiksi! Selalu timbul pertanyaan dalam benak, bagaimana harus menjelaskan sebuah perilaku yang sangat menghina, menghasut, membenci di satu sisi, dan agamis, religius, penuh kasih di sisi lain.
kata bijak motivasi singkat cinta kehidupan mutiara islami mario teguh sabar dalam kisah nyata
Saling menghormati, membangun dan mengasihi
Kalau dalam ilmu jiwa, hal ini mengingatkan saya pada pribadi terbelah. Dan yang paling berbahaya apabila kontradiksi atau keterbelahan ini berhasil menyatu dan membentuk perilaku fixed yang menjadi takaran kehidupan seseorang. Bila penyatuan ini tercapai, orang paling agamis pun akan sulit mengevaluasi perilaku dan tata krama sosialnya. Pokoknya dia benar!


Banyak ‘orang saleh’ mengira sedang berada dalam perlombaan (khayalan) hina-menghina antar iman, sebuah perlombaaan yang melebar hingga pilihan politik dan etnisitas. Kacamata yang dipakai melulu kebencian, kemarahan dan hasutan. Tidak mengherankan, tatkala saya mengambil inisiatif memosting status Facebook senada tulisan ini, sejumlah teman berreaksi 'hei...agama saya juga dihina'.

Duh! Saya tidak mengurus hasut-menghasut atau sekelas melempar kata kata toksik antar anak anak bangsa. Saya bahkan tidak mengurus kata kata bijak, kata kata mutiara atau kata kata cinta orang per orang.

Yang saya kritisi adalah politisasi agama, getol kampanye kebencian, masifikasi pengkafiran, upaya-upaya konyol mencocoki PKI dengan kapitalisme, liberal, LBGT, atau isu-isu Kristenisasi, pola-pola pikir absurd, kerusakan bahasa Indonesia, dan seterusnya. Dalam perspektif ini, peristiwa ditolaknya seorang wanita Tionghoa Katolik di sebuah konferensi ilmiah di Riau hanya karena ia bukan wanita berhijab otomatis mengusik akal sehat saya.


Hal-hal di atas sudah sangat meracuni ruang-ruang sosial kita namun cilakanya, berlangsung masif, brutal, dan mengandung hasutan-hasutan jahat. Dampaknya bersifat multi dimensi. Sangat berbahaya bila tidak dilucuti motif, irasionalitas dan grand design-nya.

Dalam kasus saya triple salah di atas, yang empunya status mengatakan bahwa ‘orang Kristen menyembah pada bangkai yang digantung di salib, apalagi hanya Jokowi (pasti disembah juga)’. Saya tidak perlu merasa marah karena jelas hanya serangkaian umpatan kemarahan tiada dasar seperti dalam kasus pribadi terbelah.

Yesus boleh dihina berjamaah pun, lakukan saja. Emang Yesus pikirin? Emang ada pengaruhnya sama kebenaran iman Kristen yang saya yakini? Tidak ada pengaruhnya sama sekali kecuali pada yang bersangkutan dan orang-orang yang mendukung masifikasi kebencian ini. 

Jelas, agama Islam sedang dibajak secara brutal!

Dan dampak dari dibajaknya Islam demi pemuasaan berbagai hasrat politik dan ekstrimisasi agama, dampak kebencian pada terciptanya generasi Islam yang dangkal namun tabiatnya sombong, dampak multi dimensi kebencian pada warisan kebhinekaan kita, siapa pun, tak peduli agama, etnis dan pilihan politikmu apa, WAJIB MELUCUTINYA!

Pada titik ini, saya berada dalam gerbong yang sama bersama mayoritas warga Indonesia yang tulus mendambakan kehidupan yang bermartabat, yang saling menghargai, yang bergerak membangun dan membentuk berbagai jaring-jaring kebaikan dalam rangka mencapai kemaslahatan setiap orang. Kami segerbong dengan tegas menolak berbagai racun Facebook!

Kepada orang yang menuduh saya sedang menghina agama Islam hanya karena menyoal toksisitas bernuansa religius di ruang-ruang sosial, ijinkan saya mengingatkan bahwa hidup kita bersama sedang dalam ancaman besar. Kita bisa punah sebagai kebhinekaan yang religius dan menjadi bangsa (berbahasa) preman. 


Kecuali kamu bagian dari gerakan peracunan, kecuali kamu memang suka meracuni dan rela diracuni, kecuali kamu memang mengambil bagian dalam membelah pribadi-pribadi Indonesia, stop mengira saya sedang ikut perlombaan khayalan itu.

Salam Waras 

kata bijak motivasi singkat cinta kehidupan mutiara islami mario teguh sabar dalam kisah nyata
 Pemesanan:
082-135-424-879/WA
5983-F7-D3/BB
Inbox Rudy Ronald Sianturi 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Racun Facebook"

Post a Comment