Tanda Cinta, Cinta Indonesia
Lengkap sudah
tanda-tanda Indonesia bakal perkasa pada saatnya.
Ada dua tanda yang bisa
dibaca dalam konteks Indonesia yang lebih luas tanpa jatuh ke dalam perdukunan
dan cocoklogi yang sangat populer terutama di antara penganut hatred is king.
Sebelum melangkah lebih
jauh, cara ringkas melihat tanda adalah ‘sepasang rangkaian’ seperti masalah
dan solusi, datang dan pergi, atas dan bawah atau buka dan tutup. Bukan sekedar
lawan kata atau pasangan biner. Tanda harus diletakkan dalam konteks. Artinya bisa
diverifikasi dengan tanda-tanda lainnya sehingga sebuah tanda pantas mendapat
kebermaknaan yang sahih.
Apabila tanda dipahami
sebagai kemungkinan atau peluang, tanda biasanya mencuat dari masalah, polemik,
kontroversi atau baiklah kita sebut, tantangan. Bila kita punya dua tanda,
minimal kita punya dua tantangan yang melahirkan peluang-peluang tersebut.
Asing-Aseng
Masalah atau tantangan
pertama berkait viral berita bahwa (mantan) bos Kementerian ESDM, Archandra
Tahar, memiliki passport Amerika. Segera santapan empuk nan legit bagi barisan ‘kritikus-tikus’
setia pemerintahan Jokowi. Dan kritikan sahih karena memang membuat kita tercengang-cengang,
terlepas dari kegeniusan dan patriotism Archanda yang rela melepas pekerjaan
bergaji menggiurkan di Texas.
Belum selesai
ontrang-antring yang seperti diduga memancing mulut banyak politisi yang
terhormat wakil rakyat dan partai, publik kembali dikagetkan dengan berita
terhempasnya Gloria dari barisan Paskibraka Nasional karena memiliki passport
Perancis meski menurut UU dia berhak mendapat dwikewarganegaraan mengingat
usianya. Completo!
Dua passport dua negara
kapitalis seketika menjadi sambal pedas dalam polemik penyusupan. Ditaruh dalam
konteks gencarnya hasutan ‘antek asing’ (termasuk bila tidak pilih Sandiaga
Uno), masuknya -katanya- 10 juta pekerja Cina (yang entah di mana berada)
sampai ‘ditemukannya’ aksara Cina di stasiun kereta api (yang ternyata lantaran
rusaknya papan digital), asing-aseng bukan masalah kecil. Ibarat bom waktu yang
siap diledakkan kapan ada alasan, tak peduli seberapa absurd alasan tersebut.
Paceklik
Emas Olimpiade Rio, Brazil
Tantangan berikut
adalah musim paceklik medali emas Olimpiade Rio, Brazil. Sudah barang tentu
kita punya kebanggaan luar biasa dengan atlet tercinta Sri, srikandi angkat
berat, yang menyumbang medali perak bagi Indonesia kita. Ini saja sudah tanda
tersendiri bahwa dari jutaan rakyat Indonesia adalah seorang perempuan yang
membuat nama Indonesia ditorehkan secara internasional. Diletakkan dalam
konteks gigihnya gerakan ‘menjinakkan’ perempuan sebagai mahluk yang harus ‘dipermuliakan’
dengan cara dibatasi capaian dan harus laki-laki yang memaknai
individualitasnya, kemenangan Sri telak menampar siapa saja yang memandang
perempuan dengan cara feudal-religius.
Tetapi medali emas
olimpiade, Brazil, punya cerita lain. Bayangkan perasaan Cina dan Malaysia,
milyaran warga Tiongkok dan puluhan juta Malaysia yang terpaku di layar masing-masing
termasuk yang menyaksikan langsung. Mereka melihat bendera negara digerek naik
TAPI diposisikan lebih rendah daripada Merah-Putih. Dan sembari naik, Indonesia
Raya dikumandangkan gempita gebyar seakan hendak meledak stadion dan layar televisi
mereka. Mereka menghormat benderanya namun harus mendengar lagu kebangsaan negara
lain – Indonesia. Sebagian mungkin tidak sanggup berkata, sebagian lagi merasa
perih meski terhormat ditekuk raksasa bulutangkis dunia.
Membayangkan kontingen Indonesia
balik kampung tanpa pernah sekalipun 7 milyaran warga dunia melihat bendera
dikerek naik gagah dengan iringan ‘Hiduplah Indonesia Raya’, sembari teringat
sedang merayakan hari kemerdekaan…M E N Y A K I T K A N!
Buka-Tutup
Saya menyodorkan ‘buka
dan tutup’ dalam durasi sehari, 17 Agustus 2016, serangkai tanda yang melambaikan
tangan gembira kepada kita semua. Dibuka dengan penyelesaian cantik Jokowi
mengundang Gloria (satu-satunya dari 68 anggota) untuk makan siang dan
mengijinkannya ambil bagian dalam obade penurunan bendera sorenya di Istana,
ditutup Indonesia Raya nyaris merubuhkan stadion dalam perayaan kemenangan
ganda campuran Olimpiade.
Asing-aseng dan paceklik
emas olimpiade, seketika duo sepasang-serangkai mengubah konstelasi banyak hal.
Maka ‘kebetulan sekali’
bila laga semalam harus menghabikan hanya
17 buah shuttle-cock serta berlangsung hanya
45 menit.
Maka ‘kebetulan sekali’
bila Tontowi Ahmad-Liliyana Natsir adalah padu-padan yang mengguncang siapa
saja: pengkritik, pembenci, penyokong, pemuja, pekerja termasuk ‘pembaca doa’.
Bagaimana tidak kalau
kita membaca fakta-fakta kebetulan lainnya.
Tontowi Ahmad orang
Banyumas, Jawa Tengah, sedang Liliyana Natsir adalah gadis Kawanua, Manado, Sulawesi
Utara. Tontowi sejak masih janin pun sudah muslim dan belajar bulutangkis di
pesantren. Sebaliknya, Liliyana adalah seorang Katolik setia yang tanpa ragu
menaruh setiap harapannya pada Yesus dengan isyarat salib di dada. Tantowi
mengimbangi dengan tangan tengadah dalam syukur. Kristen-Islam, lawan mana saja pasti
gentar!
Dan masih ada tanda menarik
terbilang unik. Perempuan Manado aseli, namun panggilan kesayangan Liliyana
justru Butet, seakan boru Batak tercinta.
Semua tentang Indonesia
ada di situ. Tentang kapabilitas perempuan, tentangn Bhineka Tunggal Ika,
tentang keberagaman agama, tentang toleransi, SARA dalam arti paling positif!
Indonesia
Raya
Bukan medali itu yang
penting, bukan seorang Jokowi fokus kita, tapi bahwa anak negeri bangga memberi
yang terbaik bagi yang Mulia Indonesia dan pemimpin yang tahu berpencak politik
dengan lihai, itu intinya.
Menakutkan sekali.
Menakutkan bagi korporasi-korporasi multinasional yang sangat memusuhi
nasionalisme dan orang-orang yang gencar mengkampanyekan paham
internasionalisme berbasis agama seperti khilafah.
Sadar bahwa aku bangsa
Indonesia, aku demi bangsa dan negara, identitas nasional seperti ini kukuh
sebagai barikade penghalau niat-niat kotor menguasai kekayaan negeri dan
mengubah dasar negara.
Medali hanya sebiji. Gloria hanya anak SMA. Archanda hanya salah satu genius negeri ini. Tapi se-Indonesia Raya, itu kedasyatan 250 juta!
Seperti kata Gloria ‘nafasku
(bau) Indonesia…’
Seperti kata Archandra ‘izaa
wussidal amru ilaa gairi ahlihi fantazirissaah…’
Seperti kata Susi 'loe
macam-macam, gue tenggelamkan...'
Happy
Independence Day ~ Folks…
Artikel-Artikel Lainnya:
Takut Patung Berarti Cinta Allah?
Bahaya
Laten Film-Film Cina?
Artikel-Artikel Lainnya:
Takut Patung Berarti Cinta Allah?
0 Response to "Tanda Cinta, Cinta Indonesia"
Post a Comment