Djarot Teman Ahok
Belakangan saya
menaruh perhatian terhadap Djarot, wakil gubernur DKI Jakarta pasangan Ahok. Jangan
tegang dulu, bukan kristenisasi atau kampanye terselubung. Beliau Islam baik
dan pemimpin teruji, siapa saya hendak berkampanye? Pasti juga bukan demi kumis
kerennya. Saya menaruh perhatian karena teringat seorang teman .
Waktu itu saya kelas lima SD di Merauke, Papua, dan harus pindah sekolah. Lugu dan terasing dalam kelas yang
hingar-bingar. Rasanya seperti ikan salah kolam - lain sendiri. Perasaan saya tegang.
Seraut wajah putih kepucatan, absolut Tionghoa, menepuk pundakku, mengajak cerita. Lonceng tanda istirahat, dia mengajak saya ke kantin sekolah. Mendadak dunia berasa damai, seakan dipertemukan dengan teman lama. Pulang sekolah, saya diajak main ke rumahnya.
Seraut wajah putih kepucatan, absolut Tionghoa, menepuk pundakku, mengajak cerita. Lonceng tanda istirahat, dia mengajak saya ke kantin sekolah. Mendadak dunia berasa damai, seakan dipertemukan dengan teman lama. Pulang sekolah, saya diajak main ke rumahnya.
Pertemanan ibarat
amplop dan perangko. Kalau kurang satu, surat anda bakal ditolak kantor pos!
Begitu pula saya dengan teman lain ras ini. Sejak hari itu, Merauke mengenal sejoli -Batak-Tionghoa- yang
sekandung dalam banyak hal. Satu ikut
kesebelasan sekolah, lainnya pasti selapangan. Satu masuk team basket sekolah,
lainnya pasti selapangan.
Pertemanan diuji tantangan dan cobaan. Beberapa peristiwa sempat mengancam keakraban di antara kami. Sebagai pengurus OSIS SMA, kami harus berhadapan dengan beberapa orang yang tidak sepaham dengan
program-program kami. Sewaktu ikut lomba Pramuka tingkat penggalang
nasional, kami harus terpisah.
Tak apapun dan tak seorangpun mampu
memisahkan kami. Lomba tenis mejda dan badminton mempersatukan kami di arena tarung antar sekolah. Alam membawa kami ke lokasi camping,
berburu dan menjaring ikan. Hobi bela diri dan cinta petualangan menghadirkan rangkaian diskusi tentang
Kho Ping Hoo, Old Shatterhand dan Winetou, Rin Tin-Tin, Lucky Luck. Nonton film dan baca novel merupakan kegiatan rutin.
Tak lupa, tentunya, menggoda yang bening-bening. Khusus kebutuhan ABG ini, kami pantang berdebat. Pasti kolaborasi!
Tak lupa, tentunya, menggoda yang bening-bening. Khusus kebutuhan ABG ini, kami pantang berdebat. Pasti kolaborasi!
Bagi orangtuanya, kalau pun saya sembunyi di lubang ular pasti dicari-cari temanku. Tidak salah memang, kami saling merasa dan memberi.
Saya mengajarin dia matematika dan fisika, ia menukarnya dengan ketrampilan bisnis. Saya mengajarin
dia main basket, ia menukarnya dengan ilmu kungfu yang kami latih di Pantai Buti, Merauke, Papua.
Jelang matahari membara, memerah seperti mata dewa sedang langit genit pupuran pelangi warna, kami berendam setinggi pinggang, menghadap surya yang perlahan turun tembus laut melawan gempuran ombak, melatih pukulan dan tendangan. Satu maju, lainnya maju. Satu mundur, lainnya mundur. Singkronisasi kokoh laksana sepasang banteng kedaton.
Beberapa tahun lalu, teman Tionghoa ini meminta saya memimpin perusahaannya sebagai direktur. Amanah berat namun layak diterima. Kembali pertemanan kami mendapat tantangan dan cobaan. Sebagai pimpinan, saya tidak selalu sependapat dengan pemilik. Saya harus memilih dan memilih profesionalitas. Tanpa ragu, saya akan menerapkan kebijakan-kebijakan yang saya anggap terbaik bagi kemajuan perusahaannya.
Kalau tadi saya menaruh perhatian pada Djarot teman Ahok, itu karena jawabannya terhadap orang-orang yang membujuknya mencalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta.
Jelang matahari membara, memerah seperti mata dewa sedang langit genit pupuran pelangi warna, kami berendam setinggi pinggang, menghadap surya yang perlahan turun tembus laut melawan gempuran ombak, melatih pukulan dan tendangan. Satu maju, lainnya maju. Satu mundur, lainnya mundur. Singkronisasi kokoh laksana sepasang banteng kedaton.
Beberapa tahun lalu, teman Tionghoa ini meminta saya memimpin perusahaannya sebagai direktur. Amanah berat namun layak diterima. Kembali pertemanan kami mendapat tantangan dan cobaan. Sebagai pimpinan, saya tidak selalu sependapat dengan pemilik. Saya harus memilih dan memilih profesionalitas. Tanpa ragu, saya akan menerapkan kebijakan-kebijakan yang saya anggap terbaik bagi kemajuan perusahaannya.
Kalau tadi saya menaruh perhatian pada Djarot teman Ahok, itu karena jawabannya terhadap orang-orang yang membujuknya mencalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta.
"Akhirnya saya jawab gini. Saya bukan orang ambisius. Kalau dulu Pak Ahok berjuang mati-matian menghadirkan saya, ketika tidak ada perbedaan prinsip, saya selalu susah senang bersama Pak Ahok untuk membumikan Indonesia," katanya.
Dalam debat KPU, saya langsung connect dengan kata kata Djarot yang menggambarkan Ahok sebagai orang berhati sangat baik. Ia bukan sekadar membela pasangannya namun sedang mengekspresikan hal terbaik yang ia alami selama memimpin bersama.
Sebagai politisi kawakan, Djarot punya peluang besar merebut kursi gubernur. Tidak terbayangkan apa jadinya bisa ia lebih mementingkan gengsi daripada menjadikan Jakarta sebagai terowongan Indonesia baru. Rupanya dia tidak butuh nama besar, dia tidak peduli bila perhatian seakan tercurah sepenuhnya pada Ahok.
Maka wajar berpikir bahwa terselip di gelegar toa 'penjarakan Ahok', di gelegar fenomena Teman Ahok (TA) adalah ‘teman pertama dan terutama’ Ahok: Djarot!
Coba bayangkan apa jadinya bila Djarot sekadar menganggap Ahok mitra politik di tengah-tengah tantangan dan cobaan luar biasa yang harus ditanggung Ahok. Djarot barangkali pernah ditawarin lawan-lawan Ahok 'sesuatu' asal meninggalkan temannya. Dalam perpolitikan Indonesia yang kerap mengamalkan insting politik paling kasar bahwa tiada ‘permusuhan abadi, hanya ada kepentingan’, orang mudah memaklumi sebuah pengkhianatan sebagai manuver cerdas. Djarot tidak pernah demikian. Hatinya Muslim benar-benar, ia tidak bisa dibeli.
Ada kata kata bijak berbau Buddhist yang saya formulasikan untuk mengekspresikan sebuah pertemanan: ‘sahabatmu nirvanamu’.
Saya pikir, Ahok juga merasakan hal yang sama. Djarot saling merasa dan memberi dengan Ahok. Siapa yang berharap
beliau akan goyah karena tekanan bertubi-tubi terhadap sahabatnya pasti gigit jari.
Ketika muncul kampanye
sejumlah mesjid menolak sholat para pemilih Ahok, Djarot malahan sholat di
mesjid-mesjid tersebut. Saat Ahok ditolak habis-habisan di beberapa tempat,
Djarot dengan tenang berkampanye sendirian. Dia berani mengkritik gaya
komunikasi Ahok namun tanpa ragu menanggung risiko sebagai teman Ahok.
Djarot pantang menggunting dalam lipatan. Ia setia.
Saya mudah memahami sikap Djarot terhadap Ahok. Sewaktu memimpin perusahaan teman saya, kami pernah mengalami masa-masa paceklik. Secara finansial, saya tidak terpengaruh sedikitpun karena tetap menerima semua fasilitas yang telah kami sepakati sebelumnya. Akan tetapi, sebagai pimpinan dan pribadi, saya sungguh merasakannya bahwa perusahaan saya (pribadi) sedang dihantam badai.
Saya pantang menggunting dalam lipatan. Saya profesional dan setia.
Apa yang ditanggung Djarot jauh lebih dasyat. Dia dicerca, ditekan, seganas yang dialami Ahok. Bergeming pun tidak. Jakarta adalah terowongan bagi Indonesia baru, dan dengan Ahok akan ia wujudkan. Harga mati.
Hal paling menggetarkan dari seorang Djarot adalah bahwa ia tidak risih berdiri di samping orang berlabel ‘penista agama’ Islam. Dia tegar mendampingi seseorang yang dianggap telah membuka kotak Pandora politik kerumunan. Temannya seorang pesakitan, dipaksa sebagai pesakitan, tetapi tanpa gentar menerima Ahok sebagai sesama manusia.
Djarot teman pertama dan terutama dari Ahok. Pertemanan mereka nilainya sebanding kemenangan.
Saya bahkan berani bilang bahwa saat ini juga, Indonesia telah menang. Tidak peduli apapun hasil pilkada Jakarta putaran ke-2 nanti, bangsa ini telah berhasil melawan sekat-sekat perbedaan di tengah-tengah ancaman dan badai permusuhan yang dilancarkan para petualang politik berjubah agama. Dibutuhkan nyali sekencang baja, selentur sutra, sekuat banteng kedaton.
Djarot pantang menggunting dalam lipatan. Ia setia.
Saya mudah memahami sikap Djarot terhadap Ahok. Sewaktu memimpin perusahaan teman saya, kami pernah mengalami masa-masa paceklik. Secara finansial, saya tidak terpengaruh sedikitpun karena tetap menerima semua fasilitas yang telah kami sepakati sebelumnya. Akan tetapi, sebagai pimpinan dan pribadi, saya sungguh merasakannya bahwa perusahaan saya (pribadi) sedang dihantam badai.
Saya pantang menggunting dalam lipatan. Saya profesional dan setia.
Apa yang ditanggung Djarot jauh lebih dasyat. Dia dicerca, ditekan, seganas yang dialami Ahok. Bergeming pun tidak. Jakarta adalah terowongan bagi Indonesia baru, dan dengan Ahok akan ia wujudkan. Harga mati.
Hal paling menggetarkan dari seorang Djarot adalah bahwa ia tidak risih berdiri di samping orang berlabel ‘penista agama’ Islam. Dia tegar mendampingi seseorang yang dianggap telah membuka kotak Pandora politik kerumunan. Temannya seorang pesakitan, dipaksa sebagai pesakitan, tetapi tanpa gentar menerima Ahok sebagai sesama manusia.
Djarot teman pertama dan terutama dari Ahok. Pertemanan mereka nilainya sebanding kemenangan.
Saya bahkan berani bilang bahwa saat ini juga, Indonesia telah menang. Tidak peduli apapun hasil pilkada Jakarta putaran ke-2 nanti, bangsa ini telah berhasil melawan sekat-sekat perbedaan di tengah-tengah ancaman dan badai permusuhan yang dilancarkan para petualang politik berjubah agama. Dibutuhkan nyali sekencang baja, selentur sutra, sekuat banteng kedaton.
0 Response to "Djarot Teman Ahok "
Post a Comment