Kata Mutiara Islam Edhi Pakistan
"Karena ambulansku lebih Islam daripada kamu."
Sejarah menghadirkan
orang-orang seperti ini di sekitar kehidupan kita yang mau peduli
memerhatikan. Maka muncullah, di negeri Islam yang kerap berseteru dengan
sepupunya India, seorang manusia ber-Tuhan.
Adalah
sang miskin, Muslim kaya cinta, di tengah ketidakacuhan dunia, seorang 'manusia sholat'
dengan misi sedunia, itulah gambaran warga Pakistan bernama Abdul Sattar Edhi.
Ia lahir di Bantva, Gujarat, India, 28 Februari 1928, dan hijrah ke Karachi
setelah partisi India dan Pakistan. (baca juga: Mutiara Sholat dan Ngaji)
Seperti kisah nyata orang-orang
istimewa dalam sejarah, Edhi sangat dipengaruhi kematian ibunda di usianya yang
ke-19. Kemiskinan tidak mengijinkan dia menyelesaikan sekolah, sebaliknya dalam
kata kata mutiara yang ia ucapkan, “Penderitaan adalah guru kehidupan saya.”
Edhi menemukan guru
kehidupan yang dia gambarkan dalam kantong-kantong miskin masyarakat Pakistan
yang kekurangan berbagai sarana kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan kebutuhan
dasar lainnya. Ia pun merumuskan misi hidupnya, sebuah keputusan besar yang
bisa dilakukan seorang Muslim ber-Tuhan, dalam kata kata: hidup dan menolong hidup. Tidak sudi melihat warga miskin terlunta-lunta tanpa ambulans, dia
memulai armada gratis saat berusia 20 tahun.
Ia bukan orang kaya,
dompetnya kempes berbeda dengan orang-orang kaya yang mendonasikan hartanya.
Dia harus memulai sesuatu yang maha besar tanpa sepeser di kantong. Dia hanya
punya sholat.
Edhi mengawalinya
dengan 'mengemis' dan masyarakat memberi. Berbekal uang yang terkumpul, dia
mengubah sebuah ruangan kecil menjadi ruang perawatan. Ia membeli ambulans pertama dan bertindak
sebagai supirnya. Seiring waktu, kasih manusia sholat ini menggelembungkan
kemanusiaan banyak orang termasuk sejumlah mahasiswa kedokteran yang
turun-tangan sebagai sukarelawan. Bersama istri terkasihnya, Bilquis, Edhi
berhasil menggemukkan armada cintanya hingga 1800 saat meninggalnya di usia 88
setahun lalu.
Armada Edhi melayani
lintas SARA, sangat istimewa terjadi di Pakistan yang kerap diwarnai intoleransi
terhadap non-Muslim, di negeri yang sarat permusuhan dengan India Hindu.
Saat ditanya mengapa
demikian, jawabannya, "Karena ambulansku lebih Islam daripada kamu."
Sepak serjang manusia
sholat Muslim bernama Edhi Pakistan ini tidak terbatas hanya mengoperasikan
armada ambulans sukarelawan terbesar di dunia. Edhi juga memperjuangkan hak-hak
perempuan untuk bekerja.
Untuk konteks Indonesia terdengar ganjil tetapi tidak di Pakistan yang sebagian Islamnya garis keras dan sangat membatasi kehidupan perempuan. Dari sekitar 2000 karyawan yayasan, ada 500 perempuan yang juga digaji seperti karyawan lainnya.
Kasih Edhi tidak luput
dari serangan termasuk ketika kelompok Islamist menduduki dan membawa lari
400.000 poundsterling dari salah satu kantornya di Karachi. Segera saja, kata
kata yang telah menjadi mantra hidupnya, ‘saya meminta, masyarakat memberi’,
dengan cepat bekerja. Uang pengganti masuk melimpah dari para donator. Pernah
juga boks bayi bagi bayi-bayi yang dibuang orangtuanya
dicerca dan dianggap menganjurkan seks bebas. (baca juga: Robohnya Surau Kami Akibat Doyan Beragama)
Cinta sebesar Edhi
harus mendapat ancaman pembunuhan berentetan. Ambulans serta sukarelawan
yayasan mendapat rangkaian serangan. Beliau tetap fokus pada misi hidupnya kendati menjalani kehidupan sederhana di sebuah apartemen dua lantai tepat di berdampingan
dengan kantor pusat yayasan.
Edhi liganya sekelas
bunda Theresa dari Kalkuta, biarawati Kristen Katolik mungil asal Eropa yang
membawa kasih Kristus ke tengah-tengah ratusan juta warga India dan milyaran
penduduk dunia yang dianggap hina, nista, sepele. Bagi Theresa, dia sebatang
pencil yang Tuhan pakai menuliskan cinta ke dalam hati manusia modern kesepian
dalam dunia yang mengalami defisit kasih. (baca juga: Bunda Teresa Cinta Neraka)
Bukan tanpa alasan Edhi
digelari sang Bapa Theresa dari Pakistan, setara sang Bunda Theresa dari India.
Agama urusannya manusia
dan kemanusiaan, itulah hakekat ber-Tuhan. Seperti kata kata Edhi kepada kita,
"Manusia sekarang semakin terdidik tapi tetap belum berkemanusiaan."
Tidak perlu heran bila dia yang mengatakan bahwa agamanya adalah kemanusiaan ini
digelari Maulana Edhi, sang imam terpelajar.
Iqra (membaca) terhadap
seorang Edhi ibarat menonton pertunjukan tari Flamenco. Saat penari berputar,
menyibak ketentraman atom-atom udara dengan lebar longdress-nya, dia meratapi
cengkraman atas jiwa: ke mana cinta pergi...
Ada seorang manusia
sholat yang menjawab lebih dari sekadar kata kata mutiara. ‘Yang mati hanya menuju
satu tempat, ke atas. Di mana pun kamu menguburnya, ia hanya punya satu tempat
untuk pergi, ke atas… Kematian sudah selesai, betapa yang hidup harus
menghormatinya.
Edhi adalah cerminan
kebenaran terdalam Islam sekaligus ratapan, tamparan, buat Indonesia -negeri super religius, oleh kedegilan Pilkada DKI Jakarta- yang teganya 'mengancam' jenazah sesama saudara Muslim....
Ke mana Islam pergi ya
Robb sang Cinta...Bukankah setiap orang merindu sang Khalik bagai rusa
merindukan air, ya Allah sang Kasih…
Ke mana Islam harus
pergi bila yang mengaku islami justru siap menelantarkan jenazah seorang pencinta-Mu?
Edhi, sang manusia sholat, belum selesai menampar setiap orang beragama lupa ber-Tuhan. Sepanjang hidupnya, Edhi mengadopsi 20.000 anak supaya tak direnggut kematian oleh
kemiskinan.
082-135-424-879/LINE/SMS
5983-F7-D3/BB
Inbox Rudy Ronald Sianturi
Pemesanan:
082-135-424-879/LINE/SMS
5983-F7-D3/BB
Inbox Rudy Ronald Sianturi
0 Response to "Kata Mutiara Islam Edhi Pakistan"
Post a Comment