Video Gay Indonesia: Menularkan Perilaku Menyimpang Melalui Video Viral

Kasus kakak adik dalam video gay Indonesia menguak perilaku menyimpang dalam masyarakat Indonesia

Ketika saya balik kampung tahun 2008, keponakan saya yang telah menjadi remaja tanggung menyambut dengan senang dan bersikap sangat manja. Dia melompat kegirangan, memeluk dari belakang dan mengikuti ke mana saya pergi. Sewaktu dia kecil, saya sering menggendong dan menjemputnya sepulang sekolah. Kami kerap menghabiskan waktu bersama, bermain bola dan bersendau-gurau. Tidak heran bahwa meski bertahun-tahun berpisah, ia tak canggung mengekspresikan rasa rindu di hati dan erat memeluk badanku saat kubonceng naik motor keliling kampung.


Ingatan akan keponakan saya bangkit kembali saat mengikuti kasus video viral yang bermula dari dua pemuda berboncengan meluapkan bahagia setelah empat tahun tidak bertemu. Seorang wanita, seorang ibu, yang merasa terganggu dengan pemandangan tersebut, merekam dan memostingnya diimbuhi redaksi yang implisit (suggestive) mengarahkan pikiran dan emosi pada kasus LGBT. Dalam waktu singkat, status dia menjadi semacam ‘video gay Indonesia’ yang dibagikan beribu-ribu orang. Dan ketika ditaruh di Youtube oleh dua koran digital, ekspresi kasih antar saudara yang ditelikung sebagai perilaku menyimpang ini telah ditonton jutaan orang.

Bagai bah tsunami,  muncul komentar-komentar menghina, intimidatif, brutal bahkan ancaman dengan aura religi yang kental. Sebuah penghakiman menular dengan dasyat. Persekusi merajalela tanpa peduli dengan dampak dan validitas berita.

Apa yang sebenarnya terjadi dengan masyarakat kita? Mengapa begitu banyak orang tidak merasa perlu mencari informasi lebih lanjut? Atau setidaknya, mengapa tidak mengontrol mulut untuk menghindar dari kata-kata tajam dan keji menghakimi?

(Baca juga: Melontekan Wanita dalam Upaya Bela Agama dan Membungkam Suara Kritis)


Video gay Indonesia ini sesungguhnya mencerminkan kegandrungan masyarakat Indonesia untuk main hakim sendiri (persekusi). Bayangkan saja, seseorang diteriakin sebagai pencuri pengeras suara masjid dan puluhan orang mengamuk, memukul dan membakar dia yang melolong minta ampun. Puluhan lainnya hanya melihat tontonan mengerikan itu tanpa peduli. Lolongan lelaki malang, ayah seorang anak, mengapa tidak membangkitkan belas kasihan mereka?

Masalahnya ada di benak seseorang yang disesaki prasangka dan kompleks superioritas religius. Sebagaimana ibu perekam dan pemviral (asal-muasal konten), kebanyakan orang mengira dia layak menghakimi meski tidak punya informasi apapun kecuali agitasi dalam caption video viral tersebut. Mereka gagal melihat dua manusia nyata yang belum tentu berbuat kejahatan apapun. Mereka hanya terdesak kebutuhan untuk (tampil) religius seolah kehidupan pribadi mereka tercemar dengan brutalnya oleh perilaku dua laki-laki dalam rekaman. Pokoknya, ini video gay Indonesia!

Menyedihkan sekali bahwa bangsa ini sedang turun kelas. Sopan telah menjadi munafik.

Video ini bolak-balik lewat timeline saya tapi tidak pernah saya buka. Baca selintas kata-kata dalam caption sudah bikin mual. Tak pernah saya menduga, masalahnya ternyata sangat serius dan memaksa saya untuk mencari berbagai informasi yang ada.

Kita bersyukur bahwa di tengah-tengah eforia publik akhirnya mencuat sedikit akal sehat ketika sejumlah orang mulai mempertanyakan validitas video viral tersebut. Terkuak bahwa dua orang yang dianggap 'sepasang penjahat' oleh ratusan ribu pemirsa, laki-laki dan wanita, ternyata tidak seperti yang disangkakan.

Ibu pemviral berkenan menuliskan status permintaan maaf dan menceritakan pertemuannya dengan pihak korban dan keluarganya. Sayang sekali, ada beberapa hal yang perlu dikritisi dalam statusnya.

Pertama, nada bicaranya masih sebagai orang benar sehingga permintaan maafnya terkesan arogan. Sebagai pelaku tindakan yang secara sangat jahat telah merugikan korban, dia justru meminta bukti bahwa kedua korbanya adalah kakak dan adik. Bahkan lebih konyol lagi, kerabat yang mendampinginya ingin memoto kartu tanda pengenal bersaudara tersebut.

Dia pun menekankan (bersikukuh) bahwa perilaku mereka tidak biasa di masyarakat Indonesia. Cara bertutur dalam status pemviral menyiratkan bahwa tindakan dia tetap bisa dibenarkan (justified) semata alasan-alasan keadaban. Dia kurang menunjukkan empati bahwa sang kakak dipecat lantaran status dia yang terlanjur dianggap sebagai bagian dari video gay Indonesia. Dia tidak cukup menunjukkan penyesalan bahwa keluarga korban sangat tertekan dan ibu mereka mereka jatuh sakit. Dia tidak cukup prihatin bahwa kedua korban mendapat banyak ancaman dan tekanan sehingga mereka kuatir dengan keselamatan dirinya.

Ada sesuatu yang sangat janggal dan absurd. Para korban justru dituntut menjelaskan dirinya pada pelaku tindakan yang bisa digolongkan kriminal!

Ketiga, ibu pemviral masih berkelit bahwa dalam video viral tersebut, dia tidak mengatakan apapun tentang kasus LGBT. Ini jelas berlawanan dengan akal sehat. Justru videonya berinti asumsi perilaku menyimpang. Dan inilah alasan utama mengapa rekaman tanpa ijin yang menyalahi privasi dan hak asasi korban ini mendapat sambutan meriah dari ‘publik religius’. Sebagaimana kasus orang dibakar oleh sejumlah jamaah sehabis sholat, salah satu kecondongan masyarakat kita dewasa ini adalah saleh agama menjustifikasi perilaku kriminal. Mengerikan!

Pertanyaan sangat mendesak adalah bagaimana dengan berbagai kerugian material dan terlebih immaterial yang diderita korban? Bukankah itu yang sekarang merupakan kisah nyata dari video tersebut? Bagaimana mungkin dalam status ibu pemviral, dia masih berani menulis ‘kalau sy gak suka sy akan labrak, kalau sy salah sy akan meminta maaf’?

Absurd sekali! Sayang sekali keluarga korban mau diajak berdamai. Sungguh tidak sehat. Kita beramai-ramai telah membiarkan kejahatan merajalela dan memeteraikannya ‘wajar’ demi imbuhan sentimen agama. Kita semua adalah pelaku persekusi!

Masyarakat sakit, bukan begitu? Kejahatan justru diglorifikasi, ganjil sekali! Fakta mencengangkan menganga di depan mata. Ternyata, konten apa saja asal diimbuhi sentimen religius bakal mendapat perhatian besar. Bagai robot wanita dan laki-laki, sebagian warga latah mengamini tanpa memeriksa terlebih dahulu.

Video gay Indonesia, sebagai sebuah kasus dengan (suggestive) kata kunci kasus LBGT, eksplisit atau implisit, spontan menaikkan tempo dan amarah publik. Mass trial pun bahkan dianggap layak. Sekarang setelah kebenaran terkuak, ada berapa yang minimal mau meminta maaf secara publik? Dengan kata-kata, mereka telah membunuh integritas satu keluarga, merobek-robek martabat dan hak hidup mereka. Namun para pelaku dengan gairah religius ini tetap bungkam!

(Baca juga: Mayat-Mayat Pecinta Allah Bertumbangan Ketika Shalat Jumat)

Siapa berkenan menjawab pertanyaan saya? Apa yang sedang terjadi dengan masyarakat Indonesia? Lari ke mana empati bangsa yang dikatakan ramah, santun dan agamis ini?

Saya mendapati dalih bahwa penghakiman massal bisa dibenarkan. Ada orang-orang yang tetap memuji kejahatannya sebagai cerminan keadaban dan religiusitas. Mereka menguntai kata-kata bijak dan kata-kata mutiara bahwa tindakan mereka disepakati ratusan ribu pemirsa. Biasanya hanya mungkin dikatakan oleh mereka yang merasa di posisi super.

Masyarakat Indonesia perlu belajar melihat sebuah peristiwa dari berbagai sisi dan secara menyeluruh. Coba kita liat dari sisi berbeda.

Riset mengungkap bahwa prosentase pria dan wanita dalam hal perselingkuhan tidak banyak berbeda. Hanya saja, umumnya laki-laki yang bersikap lebih agresif atau mengambil inisiatif sedangkan perempuan lebih berhati-hati dan seksama dalam menjalani dan menyembunyikannya. Hal ini berlawanan dengan kepercayaan umum bahwa wanita identik sebagai
korban. Sekaligus ini menjelaskan fenomena pelakor yang hanya mungkin bila kedua belah pihak terlibat.

Perselingkuhan jauh lebih sering terjadi di antara orang-orang yang saling mengenal secara langsung, di kantor atau lokasi kerja. Sejumlah profesi rentan melakukannya termasuk para dokter. Maka pasangan selingkuh secara probabilitas terjadi di depan mata meskipun kita tidak mendeteksinya.

Hal di atas agak mirip dengan berbagai fakta pelecehan seksual, perkosaan atau pedofilia. Frekuensinya sangat tinggi, terjadi justru di tempat-tempat yang kita akrabi seperti rumah, kantor, tempat ibadah, asrama, sekolah, kursus, rumah sakit, dlsb. Mayoritas para pelakunya adalah orang-orang dekat seperti orang tua dan kerabat lainnya, paman, guru, pemuka agama, pelatih, teman, dlsb.

Baik perselingkuhan, pelecehan seksual, pedofilia, pemerkosaan dan prostitusi nyaris semuanya dilakukan oleh kaum heteroseksual.

Apa yang mau saya katakan?

Berbagai kasus LBGT hanyalah sebuah buih, masalah sesungguhnya adalah kita yang mengklaim diri 'normal' ini.

Yang kedua, pada umumnya LBGT tidak lagi dianggap penyakit secara psikiatrik. Maka kecondongan dunia hetero (yang punya masalah bahkan endemik) untuk ‘memperbaiki’ mereka merepresentasikan logical fallacy dan arogansi moral yang miskin cinta.

Yang terbaik adalah komunikasi dan persuasi atas dasar sains dan pendekatan emik (berdasarkan pengalaman dan perspektif yang bersangkutan sehingga lebih empatik), bukan prasangka religius yang kerap miskin fakta, dan memberi kebebasan mereka memilih. Masyarakat harus belajar tahu diri, mob trial hanya memperburuk keadaan. 


(Baca juga: Melawat Indonesia)

Kita harus ingat bahwa orientasi seksual sangat beragam, tidak hanya dua atau tiga. Bagaimana dengan mereka yang dilahirkan dengan kecenderungan tersebut? Kita seringkali menstigma dan victimizing (menindas korban) dengan pretense-pretensi egoistis seolah mereka monster yang harus dilenyapkan. Sementara itu upaya yang lebih serius (riset, program, sasaran, dana dan SDM) masih sangat kurang.

Keempat, masalah paling mendesak adalah justru mengedukasi masyarakat akan privasi, cerdas bermedia sosial, menyaring informasi, ketrampilan komunikasi dan fakta-fakta sosial dan budaya tentang kasus pelecehan seksual, perselingkuhan, pemerkosaan, pedofilia, prostitusi, dlsb.

Video gay Indonesia adalah sebuah perilaku kriminal kolektif yang sangat memprihatinkan. Kehidupan sebuah keluarga dihancurkan secara digital dan kebanyakan pelaku tanpa rasa salah. Alih-alih memperbaiki, ia justru menularkan sebuah perilaku menyimpang tanpa kasih, tanpa cinta, kecuali luapan syawat moralisme sempit. Ia merefleksikan tindakan kriminal, teror, dari sebuah masyarakat yang sebagian anggotanya sedang mengalami disorientasi kejiwaan.

Saya melihat rambu merah menyala silau terang - sebuah peringatan.
Jual Tenun & Batik Rose's Papua
kata bijak motivasi singkat cinta kehidupan mutiara islami mario teguh sabar dalam kisah nyata

Pemesanan:

082-135-424-879/WA
5983-F7-D3/BB
Inbox Rudy Ronald Sianturi

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Video Gay Indonesia: Menularkan Perilaku Menyimpang Melalui Video Viral "

Post a Comment